INTEGRASI HUKUM ISLAM DI KERAJAAN DEMAK ABAD XVI M
(Telaah Terhadap Serat Angger Suryo Alam)
INTEGRATION OF ISLAMIC LAW IN THE KINGDOM OF DEMAK XVI CENTURY M
(A Study of Serat Angger Suryo Alam)
M. Irfan Riyadi1, Khairil Umami2
12Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
Email: irfanriyadi67@gmail.com, khairilumami@iainponorogo.ac.id
Abstract: The transfer of government from Majapahit to Demak at the end of the 15th century, as well as a transition from the Hindu era to the Islamic era, also gave birth to social, political, cultural, and legal transformations. The pattern of the penetration of Islam into peaceful Javanese culture, or penetration pacifique, has shown integration in all fields. Integration creates a stable and equilibrium condition. The question that then arises is how Demak produces laws that are able to create such stable conditions. It is important to do this on the fiber Suryangalam legal text of the Demak era. The purpose of this study is to identify the Serat Suryo Alam manuscript, explore Islamic law legislation in the text, and explain how the Islamic kingdom of Demak carried out social engineering to realize a just and peaceful society. Then to answer the problem, philological and historical methods are used, while the analysis uses content analysis with Talcott Parson's integration theory. This study concludes that: 1) the Suryo Alam manuscript is a legal text that can be found in the digitization of British Library manuscripts, 2) this manuscript contains legal, material, and judicial sources at the same time, and 3) social engineering can be measured by the stages of adaptation of Hindu and Islamic law, with the Trirasa Goal of efforts, legal integration, and efforts to maintain the law in people's social lives or latency. This stage gave birth to an equilibrium society of tata titi tentrem gemahripah loh jinawi kartaraharja.
Keywords; Legislation, Social Integration, Social Engineering, Suryangalam
PENDAHULUAN
Kasultanan Demak berdiri tahun 1478 M. setelah berhasil meruntuhkan Majapahit, yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Girindra Wardhana dari Kediri. Mulai saat itu dakwah Islam semakin semarak melalui jalur kekuatan politik, ditandai dengan penguatan peran Demak sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa. Tiga raja Demak adalah Raden Patah (w.1518 M) dan Suksesornya Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (w.1521 M), kemudian Pangeran Trenggana Sultan yang ketiga memerintah tahun 1521 M hingga 1546 M (Utomo, 2004, p. 24). Ketiganya sangat intensif dalam mengembangkan politik dan sistem hukum mengingat bahwa masa itu adalah masa transisi dari pemerintahan dengan dasar hukum Hindu-Budha masa pemerintahan Majapahit ke masa pemerintahan kesultanan dengan dasar hukum Islam. Dengan dibantu para Wali Sanga atau para ulama penggerak dakwah, pemerintahan ini mau tidak mau harus merumuskan tata aturan hukum pemerintahan yang sesuai dengan karakter pemerintahan muslim, di sinilah tentu rumusan undang-undang dan sistem pemerintahan Islam diputuskan. Asumsi ini membawa penelitian pada persoalan yang menggelitik tentang produk hukum yang digunakan oleh raja-raja Demak dan bagaimana penerapan hukum Islam di wilayah kerajaan Demak.
Pada literatur tentang berlakunya hukum Islam pada masa kerajaan Demak, terdapat 2 pendapat yang berseberangan menyikapi hukum Islam. Pertama, kelompok yang optimis menyebutkan bahwa Demak telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara Islam dengan menerapkan undang-undang negara berdasarkan syariat Islam. Hukum-hukum Islam diberlakukan bagi semua warga masyarakat, pejabat maupun rakyat jelata. Sengketa perkara hukum perdata dan pidana diselesaikan di istana kerajaan (Subroto, 2017, pp. 5–6). Raja Demak pertama diyakini telah mengeluarkan kitab Undang-undang yang dinamakan kitab Solokantoro dan Angger Suryo Alam (Dewi et al., 2017, p. 63). Kitab undang-undang tersebut rujukan sengketa hukum perdata dan pidana di kesultanan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam dan kemudian dijadikan salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan berikutnya (Pajang dan Mataram). Hukum Islam telah berlaku di wilayah kerajaan Demak dan telah mampu mengambil alih dan mencabut hukum warisan Hindu-Budha, kerajaan Islam Demak tidak hanya mengatur Ibadah murni dan hukum perkawinan saja bahkan telah menerapkan masalah waris, mu’amalah, jinayat, dan siyasah (pidana dan politik), hukum acara peradilan dan lain-lain, dimana aturan-aturan tersebut didasarkan pada syariat Islam (Saksono, 1996, pp. 127–130).
Kedua, pendapat kelompok pesimis. Mereka mengatakan, seperti menurut Hooker, berlakunya hukum Islam sangat kabur karena hukum ini berlaku setelah berdialektika dengan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum bahan masyarakat jawa masa kerajaan Demak, dengan syarat (sepanjang) pribumi menerimanya. Menurutnya, kebudayaan Hindu di Jawa terlalu kuat untuk menerima totalitas hukum Islam (Anafah, 1970, p. 98; Ghofur, 2002, pp. 122–123). Pendapat ini didukung oleh De Graaf dan Pigeaud yang menyebutkan bahwa keberlakuan hukum Islam di Jawa era Demak sangatlah terbatas, sekitar masalah fikih yang berhubungan dengan perkawinan (Echols & Pigeaud, 1969). Bahkan secara lebih pesimis Markum Suntoro dkk., dalam (Sumitro & Kholish, 2014) menyebutkan bahwa hukum Islam belum berlaku di masyarakat wilayah Kerajaan Jawa sebelum masa Sultan Agung, terutama di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Setelah Sultah Agung berkuasa, tata hukum di Mataram memindahkan peran Raja sebagai penguasa perdata menjadi wewenang Pengadilan Surambi (Sumitro & Kholish, 2014, p. 48).
Dialektika wacana sejarah penerapan dan penegakan hukum Islam di kerajaan Demak belum ada titik terang dan peneliti belum menemukan rujukan yang otoritatif tentang keberadaan hukum Islam pada masa kerajaan Demak. Pada akhirnya, ada satu jalan yang dapat membuka penelusuran tentang dokumen warisan Demak yaitu berupa manuskrip Serat Angger Suryangalam. Serat ini disinyalir memuat hukum Islam yang diterapkan di kerajaan Demak.
Di antara contoh hukum islam yang diterapkan pada Serat Angger Suryangalam adalah tentang hukuman qisash. Adapun terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:
“Apabila orang terdakwa mencuri lantas jangan dikenai dakwaan terlebih dahulu, sebab dosa yang belum ada bukti bukanlah dosa namanya. Sebab Allah Tangala Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana, apabila ada orang yang mencuri termasuk kisas, kisaslah potonglah tangan kanannya. Apabila genap kedua kalinya maka potonglah tangan kirinya. Apabila sampai ketiga kalinya maka potonglah kaki kirinya, itulah ujar hukum, baik laki-laki maupun perempuan apabila mencuri tetap diterapkan hukum yang sama antara keduanya. Pencuri yang mati di dunia, hidupnya bagaikan berjalan dalam malam tanpa cahaya; meskipun pangulu, mantri, priyayi, apabila mencuri tetap dikenakan hukuman”.
Penerapan hukum dalam masa peralihan, seperti era Demak ini, acapkali menemukan problematikanya yang khas yaitu upaya merekayasa sebuah produksi hukum dimana kaidah-kaidahnya dapat dijadikan alat untuk mengubah masyarakat, sehingga hukum dapat memelopori terwujudnya masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan berkeadaban, pola rumusan hukum yang menghendaki perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change) dalam terminologi hukum disebut rekayasa sosial atau social engineering. Kondisi dimana terjadi peralihan dari sistem kepercayaan Hindu-Budha ke sistem agama Islam, tentu menimbulkan masalah serius dalam merumuskan hukum, yang ada tetapi tidak menegasikan, yang berperan tetapi tetap menjaga keselarasan, kondisi ini menjadi bagian penting untuk dikaji demi terciptanya social equilibrium.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan penerapan hukum Islam yang berlaku di wilayah Demak, kerajaan Islam untuk pertama di tanah Jawa dan penelitian ini diharapkan dapat menyingkap bagaimana kerajaan Demak dalam menerapkan syariat Islam melakukan social engineering di wilayah Demak dan sekitarnya, untuk kemaslahatan umat.
Penelitian ini fokus pada kajian legislasi hukum Islam zaman Demak, baik dari sisi penerapannya maupun bangunan rekayasa sosial berdasarkan kajian naskah Serat Angger Suryangalam, adapun rumusan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Bagaimana hukum Islam diterapkan di kerajaan Demak dalam Serat Angger Suryangalam? Dan bagaimana kerajaan Islam Demak melakukan social engineering dalam mewujudkan hukum bagi terwujudnya masyarakat transisi yang berkeadilan?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan sumber-sumber kepustakaan. Tema penelitian ini adalah “Integrasi Hukum Islam di Kerajaan Demak Abad XVI M (Telaah Terhadap Serat Angger Suryo Alam), dengan obyek kajian naskah Serat Angger Surya Alam, sebuah naskah tinggalan kesultanan Demak yang berisi legislasi hukum Islam.
Dalam melakukan rancangan penelitian, dilakukan beberapa tahap kegiatan: pertama, Penelitian ini melakukan pendekatan filologi untuk mengidentifikasi naskah, baik dari sisi aksaranya, transliterasinya, hingga terjemahan naskah secara lengkap dari aksara Jawa (huruf caraka) hingga berhuruf latin dan terjemah dalam bahasa Indonesia, sebab naskah yang ada ditangan penulis masih berupa manuskrip micro film berbahasa dan beraksara Jawa caraka.
Tahap kedua, menganalisa isi naskah (content analysis) yaitu mengeksplorasi materi hukum, penerapan dan upaya social engineering yang dilakukan oleh para perumus, dalam hal ini raja dan staff nya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di era transisi dari masa Hindu-Budha ke masa Islam. Pada tahap ini dilakukan tafsiran konteks terhadap produksi naskah, dengan asumsi bahwa sebuah produk hukum dirancang untuk melakukan dan merencanakan dengan sebaik-baiknya terwujudnya masyarakat harmonis yang berkeadilan dan berkeadaban. Untuk itu menggunakan pendekatan hermeneutika sosial. Adapun maksud dari hermeneutika sosial (social hermeneutics), adalah: interpretation of human personal and social action” (Littlejohn & Foss, 2008, p. 135). Dengan demikian problema hermeneutika selalu berhubungan dengan proses pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation) dan penerjemahan (translating) atas sebuah pesan (lisan atau tulisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda (Hidayat, 1996, pp. 12–21; Zainul Milal Bizawie, 2002, pp. 5–12). Menurut Palmer, salah satu cabang hermeneuticts adalah social hermeneutics, berisi interpretasi terhadap pribadi manusia beserta tindakan-tindakan sosialnya, pada model ini kajian terhadap Serat Surya Alam akan dilakukan analisis.
Tahap ketiga, untuk mendukung fakta hermeneutika diperlukan pendekatan sejarah hukum. Adapun langkah-langkah yang selayaknya dilakukan dalam penelitian sejarah menurut Luis Gottschalk dalam bukunya “Understanding History” yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Mengerti Sejarah”, terdiri dari empat pasal: (1) Pemilihan Subyek untuk diselidiki; (2) Pengumpulan sumber-sumber informasi yang mungkin diperlukan untuk subyek tersebut; (3) Pengujian sumber-sumber tersebut untuk menguji keabsahannya; (4) pemetikan unsur-unsur yang dapat dipercaya dari sumber-sumber itu (atau bagian dari sumber-sumber) yang terbukti absah. Sintesa dari sumber-sumber yang telah diperoleh itu adalah historiografi (Neff, 1951, p. 34).
PEMBAHASAN
1.1 Literature Review
1.1.1 Social Engineering
Kata “engineering” dalam kamus bahasa Inggris berarti “keahlian teknik” atau “ilmu pengetahuan praktis (aplikatif) untuk mendesain, membangun dan mengontrol permesinan” (A.S.Hornby, 2000, p. 399). Pada saat kata ini dipinjam dalam ilmu sosial, maka kata itu mengalami perluasan makna yaitu suatu upaya untuk merekayasa “obyek sosial“ dengan perangkat perencanaan yang matang untuk mewujudkan transformasi sosial sesuai kehendak perekayasa atau pelaku perubahan (engineer) (Rakhmat, 1999, p. vi). Social Engineering dengan demikian dapat disebut juga social planning.
Social Engineering atau social planning adalah cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu oleh pelopor perubahan (agent of change) atau seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam mengubah sistem social (Soekanto & Mamudji, 2015, p. 62). Kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change) oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat (Munawir, 2010, p. 161).
Menurut Roscoe Pund (1870-1964) yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (2015), hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat (Law as a tool of social engineering). Hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan stabilitas sosial (social control) dan atau sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (social engineering). Hukum dapat berfungsi kedua-duanya sekaligus atau hanya salah satu saja bergantung kepada bidang hukum yang dipersoalkan dan bidang kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan. Terhadap bidang-bidang kehidupan masyarakat yang bersifat netral (duniawi, lahiriah), hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat yang bersifat peka (sensitif, rohaniah), hukum lebih berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pengendalian social (Soekanto & Mamudji, 2015, pp. 41–42).
1.1.2 Teori Integrasi Sosial
Talcot Parsons (1902–1979) menyatakan integrasi sosial berawal dari dua proses sosial yang signifikan (Smelser & Neil, 1998). Pertama, sosialisasi, yang dengannya pola-pola kultural secara selektif menjadi–atau gagal menjadi–terintegrasi dalam sebuah sistem personalitas (through which cultural patterns become–or fail become–selectively incorporated in a personality system). Kedua, institusionalisasi, yang dengannya pola kultural itu secara selektif tertanam–atau gagal tertanam–di dalam sistem ganjaran-ganjaran sosial yang aktual (through which the cultural pattern is selectively embedded–or fails to be so–in the system of actual social rewards). Analisis sosial, menurut Parsons, dengan demikian dapat dimulai dari kasus ideal (ideal case) berupa satu situasi sosial di mana dinamika kedua proses tersebut (sosialisasi dan institusionalisasi) saling konsisten dan berkesesuaian, yang disebut sebagai ‘integrasi institusional sempurna’ (complete institutional integration) (Parsons, 1965, p. 44).
Analisis sosial dalam hal ini berusaha untuk mengidentifikasi masalah fungsional yang harus ditangani oleh sistem sosial. Menurut Parsons, setidaknya terdapat empat fungsi imperatif. Keempat imperatif fungsional tersebut dikenal dengan akronim AGIL, yaitu Adaptation, Goal-attaintment, Integration, dan Latency (Ritzer & Stepnisky, 2022, p. 241).
a. Adaptation (adaptasi) atau organisme behavioral adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mentransformasi dunia eksternal (handles the adaptation function by adjusting to and transforming the external world).
b. Goal-attainment (pencapaian tujuan) atau sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan-tujuan sistem (performs the goal-attaintment function by defining system goals).
c. Integration (integrasi) atau sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian komponennya (integration function by controlling its component parts). Penyesuaian hubungan-hubungan di antara unit-unit yang menjadi bagian dari sistem yang bersangkutan, termasuk di dalamnya pengelolaan terhadap konflik-konflik yang muncul, dan penyelesaian berbagai sengketa dan pertentangan. Solusi dari permasalahan integratif menghendaki solidaritas dan harmoni (Solution of the integrative problem requires solidarity and harmony).
d. Latency (latensi) atau pemeliharaan pola (pattern maintenance) sistem budaya melaksanakan fungsi latensi dengan menyediakan norma-norma dan nilai-nilai bagi para aktor yang memotivasi mereka untuk bertindak (performs the latency function by providing actors with the norms and values that motivate them for action). Pemeliharaan komitmen terhadap nilai-nilai dan identitas-identitas bersama (Parsons, 1965, p. 701).
1.1.3 Profil Naskah Suryangalam
Naskah Serat Angger Suryangalam ini dapat ditemukan dalam simpanan naskah digital perpustakaan Inggris (British Library) dalam bentuk manuskrip Jawa kuna, naskah ini tidak dapat diakses secara manual mengingat umur naskah yang sudah sangat tua, Namun demikian bentuk micro filmnya dapat diakses dalam digitalisasi naskah dengan nomor Add. 12329.
Kajian naskah ini, obyek materialnya adalah Serat Angger-angger Suryangalam dengan kode naskah PBB 26. Naskah ini berisi tata hukum Islam yang bersumber pada kitab Anwar, dimana konsepsi dan formulasi hukumnya telah dilaksanakan Pada masa Sultan Demak pertama, Pangeran Adipati Ngadilaga Harya Palembang (Senapati Jimbun/Raden Patah) atau Sultan Fatah Raja, sedangkan penulisannya dalam kitab undang-undang dilakukan oleh R. Arya Trenggana atau Sultan Demak ketiga, dimana pada saat itu menjabat sebagai Dyaksa (Jaksa). Dalam naskah Serat Tersebut disampaikan bahwa penulisnya adalah Pangeran Ngatas Angin, Serat ini kemudian disebut Angger-angger Jawa Suryangalam, yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan Jawa hingga era berikutnya, baik Pajang maupun Mataram.
Ricklefs menjelaskan bahwa naskah digital dari British Library ini aslinya naskah hukum Negara, ditulis pada kertas Jawa (dluwang), dengan ukuran kertas 24,5 x 15,5 cm sebanyak 43 halaman (Ricklefs et al., 2014, p. 51). Berbeda dengan naskah digital ini, menurut katalog Museum Radya Pustaka, Surakarta, di sana terdapat naskah Serat Suryangalam dengan nomor RP 117, ukuran kertas 20 x 16 cm dan 118 halaman, jadi di Museum ini terdapat kajian yang lebih luas mengingat jumlah halamannya selisih 75 halaman. Sayangnya naskah yang terdapat di Museum Surakarta ini masih belum dilakukan digitalisasi, sementara untuk mengaksesnya juga memerlukan prosedur yang khusus mengingat umur naskah yang sudah sangat tua.
Menurut Nancy K. Florida, naskah Suryangalam British Library tersebut berupa salinan dari yang lebih awal yang telah disalin pada tahun 1767 dan 1794 M pada era Mataram setelah Palihan Nagari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Naskah ini aslinya digubah oleh Prabu Suryangalam atau Senapati Jimbun atau Raden Patah sendiri, yang merupakan Sultan pertama di Demak (Florida, 2019, p. 115). Pendapat ini diperkuat oleh Pigeaud, menurutnya salinan awal naskah Suryangalam, merupakan teks hukum berbentuk prosa yang berisi risalah yuridis yang secara tradisional dikaitkan penulisannya kepada Senapati Jimbun, penguasa pertama Demak (akhir abad kelima belas) (“An early copy of the Suryangalam law book prose juridical treatise that is traditionally attributed to Senapati Jimbun, first ruler of Demak (late fifteenth century)”) (Echols & Pigeaud, 1969, p. 308). Bahwa naskah ini asli salinan dari Sumber hukum kesultanan Demak dapat diperoleh penjelasan dari keterangan naskah itu sendiri.
1.2 Legislasi Hukum Islam Zaman Demak
1.2.1 Sumber Hukum
Adapun sumber hukum dalam naskah Suryangalam berasal dari: a) Adilulloh atau Dalil Kukumulloh (Dalil al-quran dan al-Hadits) (Naskah Surya Ngalam Bab I halaman 4); b) Kitab Kunthara Manawa Dharma sastra (Sumber hukum zaman Majapahit) dan adapula yang menyebut Jugul Muda; c) Raja sebagai pusat hukum (Titi jagat akitya titisyara); d) Kitab Anwar (Bab LVIII). Tentang kitab ini tidak ada penjelasan dalam naskah yang dapat dikaitkan dengan kitab ini. Namun menurut perkiraan (peneliti) kitab ini adalah kitab Anwar al-Tanzil wa asrar Al-Ta’wil, kitab ini popular disebut kitab Tafsir al-Baidhawi. Ada penjelasan bahwa kitab yang ditulis abad ke 13 ini, oleh ‘Abdallah Ibn Umar al-Baidhawi w. di Circa tahun 1286. Meskipun berisi tafsir di dalamnya juga terdapat uraian yang memadai tentang hukum syariat; e) Terdapat integrasi hukum, yaitu apabila berhukum dengan hukum lama maka nilai hukumnya tidak kuat, kecuali dikukuhkan dengan hukum syariat: “Kelawan malihipun yen ngukumi kuno den elih ora kukuh ing syara’, dadi mincar-mincar. Yen kaweruhan kang sujana angulati ing ngilmu kang kaot kadim lumuh gelem kasoran” (Bab XXXIX), (Serta jika berhukum dengan hukuman kuno, maka tidak menegakkan aturan syara’, sehingga terpecah belah. Jika orang pandai mencurigainya dan membahas dengan ilmu qadim (Islam), niscaya mereka tidak kan terkalahkan).
1.2.2 Lembaga Peradilan
Terdapat tiga alat perlengkapan Negara yang bertugas menegakkan dan melaksanakan hukum di lembaga Pengadilan negeri Demak. Pertama, Pengadilan Pradata, yaitu badan pengadilan yang mengurusi urusan politik dan kriminal. Dalam pengadilan ini jaksa bertindak sebagai penuntut dan raja sebagai hakim. Contoh kasus kriminal adalah:
“yen ana wang tukar kongsi amarani maring omahnya amanjing lawing angrubuhaken pagere, amerang bale miwah tanduran, ing sabda purusa kang mawa denda kawan leksa” (Bab XXXIII, hlm. 49). (Kalau ada orang bertengkar sampai mendatangi di rumahnya, memasuki pintu, merobohkan pagarnya, menebas tanaman, maka dikenai hukuman).
“yen ana wang tukar tinulungan dating wong kathah kang tukar angunus duwung kang anulung along kanin (dilukai) sung apatiba jampi sahuna karaning tatu, dendane kalih leksa kawan ewu” (Bab XXX hlm. 48). (Jika ada orang berselisih tolong-menolong pada orang banyak, yang berselisih menghunuskan keris, yang menolong malah dilukai, berikan pengobatan kurang lebih lukanya, dendanya dua puluh empat ribu (24.000).
Selanjutnya, Pengadilan Balemangu, yaitu badan pengadilan yang dipegang oleh Patih bertempat di Balemangu (Balai Paseban Kepatihan). Pada lembaga peradilan ini diputuskan hukum tentang administrasi dan agraria. Salah satu dalil naskah menyebutkan “yen si bumi maksih dadi celathu kang pepatih podo sinapih” (apabila ada sengketa tentang kasus tanah maka diselesaikan oleh Sang Patih), kutipan ini menunjukkan bahwa tugas menyelesaikan masalah administrasi dan agraria berada di tangan patih Negara. Beda istilah untuk pengadilan Pradata dengan balemangu adalah, bila Balemangu hakekatnya merupakan “reh jaba”, jadi berlawanan dengan Pradata yang memegang hukum keraton, dan merupakan “Reh Jero”. Contoh kasus administrasi dan agraria:
”Punika bebenerane wong rebut saba wates kang pada tumuwuh arebut saba (pereslisihan) lan kipande Kaki lan ki banyurata. Arebut saba lan ki Silem, ki Tarewel arebut saba lan ki Adri, ki Pramana… dst” (Bab XI hlm. 31). (Inilah pengadilan orang yang berselisih batas tanah. Pihak-pihak yang menimbulkan perselisihan diantaranya; Ki Pandhé-kaki dengan Ki Banyurata, Ki Silêm dengan Ki Taréwél, Ki Adri dengan Ki Pramana).
“Karang Kirna pager bata lelurung tinangguh jaga kramannya, yen ana wong angrusak tanem tuwuh ing wang kang ana bumi prawala kang sampun kaprentahan dating sang apatih kadendoa sekawan leksa”. (Lingkungan dan pagar batu bata sebagai menjaga keamannya, jika ada orang yang merusak tumbuh-tumbuhan milik orang lain yang ada di tanah rakyat, yang sudah diperintahkan kepada sang patih, maka dikenakan denda sebanyak empat puluh ribu (40.000).
Ketiga, Pengadilan Surambi, adalah pengadilan yang dilakukan di serambi masjid kerajaan. Pelaksana pengadilan Surambi terdiri dari Pengulu sebagai Ketua, dan 4 orang anggota, di Surakarta disebut “Ngulama”, materi hukum tentang syariat Islam. Pengulu sebagai Ketua, dan 4 orang anggota, di Surakarta disebut “Ngulama” dan di Yogyakarta disebut Pengulu Khakim. Kemudian ditambah dengan Ketib (atau Khatib) yang memberi khotbah di masjid pada hari Jum’at. Kitab hukumnya yang utama adalah Kitab Moharrar dan Kitab Mahalli, Kitab Tuhpah, Kitab Patakulmungin dan Kitab Patakulwahab. Perkara-perkara yang dibawa ke Surambi meliputi persengketaan keluarga, masalah warisan, pernikahan, perceraian, gana-gini, dan wasiat. Di samping itu, juga menangani masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan Pradata dan Balemangu.
”Wiyose jumeneng adile Allah blaka. Agama iku angalahaken saliring padu ing pradata kabeh, agama iku kalindih dening nyumana (dakwaan) kabehta pramanane artine nyata yen mona kapramana kang anandur dewe”. (Keluar dari menegakkan keadilan Tuhan semata. Agama itu menyelesaikan segala hal perkara/konflik, agama itu menjadi dasar dakwaan, dalam seluruh jiwanya. Artinya nyata jika diam dalam pengawasan, yang menanam sendiri).
Lan lamun ana wong anekel anak rabining wong ukume tinanjir (takzir), winirangaken ing pasar cinukur pinerapat ing ngideraken sanake pada angingel-ingel ndase kabeh”, (Dan barang siapa yang menangkap orang berbuat asusila, maka hukumannya ta’zir (hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa/maksiat). Dipermalukan di keramaian, dipotong rambutnya seperempat. Saat dipermalukan, saudaranya seperti dianiaya kepalanya semua).
1.2.3. Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum dalam serat Suryangalam adalah sebagai berikut:
Raja, Raja merupakan penegak hukum pertama, bahkan Raja dapat memveto ketetapan hukum, ataupun memberi amnesti kepada rakyat yang telah diputuskan hukumnya. Bahkan dia sekaligus sumber dari legalitas semua hukum yang disebut dengan Titi Jagat Akitya Titisyara. Raja memiliki wewenang untuk membuat hukum atau peraturan untuk rakyat ataupun para abdi dalem (pegawai istana). Hal tersebut terjadi sebab raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di dalam sebuah kerajaan, namun pada masa Demak dimana Sunan Giri masih berjaya, maka Sunan Giri menjadi ahl alhalli wal’aqdi. Apabila ada orang melawan hukum, maka sama artinya dengan melawan tatanan hukum raja.
Jeksa : jaksa adalah penangan langsung segala masalah hukum di kerajaan, jaksa ada empat macam yaitu: Jaksa Wirupeksa (bagian jemput orang berperkara dan mengejar buronan), Jaksa Patrakilapa (pembela yang meringankan), Jaksa Pramana (yang menjalankan eksekusi), Jaksa Amijaya (yang bagian merubah putusan).
Patih : Patih adalah Perdana Menteri kerajaan. Dalam bidang hukum Patih memiliki kewenangan hukum dalam pengadilan kepatihan yang mengurusi masalah admnistrasi dan pertanahan, pengadilan kepatihan disebut dengan Pengadilan Bale mangu.
Pengulu, berperan penting menyelesaikan masalah hukum yang terkait dengan keagamaan, dia bekerja sebagai Kyai sekaligus pemimpin dari pengadilan Surambi yang dilaksanakan di masjid Kraton.
Adipati, merupakan kepala penegakan hukum di daerah-daerah. Dia berperan sebagai penguasa tertinggi sekaligus penegak hukum di tingkat kabupaten. Adipati dalam bekerja juga dibantu Patih Kadipaten dan Pengulu Kauman Kadipaten.
1.3 Social Engineering dalam Menerapkan Hukum di Demak
Keberlakuan hukum Islam di zaman Demak berikut ini akan dijawab dengan memanfaatkan kajian berdasarkan panduan teori integrasi, mengikuti pola integrasi Talcot parson, Menurut Parsons sosialisasi terjadi ketika nilai-nilai yang dihayati bersama dalam masyarakat diinternalisasikan oleh anggota masyarakat tersebut, sehingga semua anggota masyarakat membuat nilai-nilai masyarakat menjadi nilai mereka sendiri. Komunitas sosial mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat (Ritzer, 2007, hlm. 142), berlakunya sebuah proses budaya yang integratif dapat ditinjau melalui empat kategori yang disingkat dengan akronim AGIL yaitu adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latensi. Dalam kasus social engineering dalam hukum Demak, penjabarannya sebagai berikut:
1. Adaptation
Adaptation yaitu suatu proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dalam sebuah teori adaptasi merupakan teori keberlangsungan bertahan hidup. Adaptasi merupakan respon perubahan dalam sebuah perilaku agar mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Dalam khazanah istilah Islam adaptasi dapat dijelaskan melalui dua tahap, yaitu taaruf dan tafahum.
Saling terbuka dan memperkenalkan (taaruf) ajaran Islam dengan ajaran Hindu-Jawa dalam kegiatan sosial agama dan hukum telah diperkenalkan pertama kali di Demak, selanjutnya dibangun saling memahamkan (tafahhum) antara keduanya sehingga diperoleh sisi-sisi yang dapat dipersinggungkan sebagai proses akulturasi antar kedua budaya itu.
Langkah awal yang dilakukan Demak adalah mengumumkan dasar negara dan konstitusi yang berlaku di Kesultanan Demak. Dalam hal ini, mereka menjadikan Alquran dan As-Sunnah sebagai dasar negara. Mereka memberlakukan syariat Islam yang dikodifikasikan dalam Kitab Angger-Angger Suryangalam, Salokantara dan jugul Muda. Daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syari‘ah Agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun, Kesultanan Demak adalah negara yang berdasar Syariat Islam pertama di tanah Jawa (Subroto, 2017, p. 45).
Pada tahap awal berdirinya Demak, upaya adaptasi dilakukan utamanya dalam segi keyakinan masyarakat akan adanya tatanan baru yang lebih adil makmur para paramarta (Prinsip equality before the law) dalam undang-undang kerajaan Demak yaitu kepemimpinan yang mengutamakan prinsip adil dan bijaksana, mengedepankan kesejahteraan rakyat, kesetaraan dan mendahulukan kepentingan umum. Pada tahap ini Demak telah berhasil melakukan dengan gemilang, karena disitu Demak telah sekaligus melakukan kritik terhadap kondisi social masyarakat era Hindu yang sangat elitis, ada beberapa prinsip dalam keyakinan agama Hindu yang dirasakan oleh masyarakat bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, khususnya dalam social politik dan keagamaan.
2. Goal Attainment
Tahap kedua dari proses integrasi yaitu tujuan yang hendak dicapai. Dalam naskah Suryangalam tujuan yang hendak dicapai yaitu terwujudnya kondisi masyarakat yang “adil sesuai hukum Allah” (kukum adilolah blaka), terdiri atas Tri rasa upaya (Tata, Titi dan Karta) atau 3 hal: Pertama, Tata: ketertiban. Kedua, Titi: Ketelitian, keteraturan dan kewaspadaan. Ketiga, Karta: Keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam istilah baru biasanya disebut dengan Tata titi tentrem, gemah ripah loh jinawi, karta raharja.
3. Integration
Tahapan ketiga dari proses integrasi adalah integrasi itu sendiri, sebuah sistem yang mengalami pembauran hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh, Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Dalam istilah Islam integrasi bermakna tasyawur (saling bermusyawarah untuk menerima) dan ta’awun (saling bersinergi dan membantu) dan berakhir dengan taslim (reception) saling menerima.
Untuk mencapai sebuah proses integrasi perlu faktor-faktor pendorong, ternyata faktor itu dengan mudah dapat ditemukan baik dalam kultur Islam maupun kultur Jawa, sehingga keduanya dapat berintegrasi dengan mudah. integrasi sosial itu antara lain:
a. Toleransi terhadap perbedaan
b. Kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi
c. Sikap saling menghargai orang lain
d. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
e. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
f. Perkawinan campuran (amalgamation)
g. Adanya musuh bersama dari luar
Berdasarkan berbagai rujukan tentang Islamisasi di Demak, diketahui bahwa Islam disiarkan di Nusantara melalui 3 (tiga) saluran, pertama oleh para pedagang muslim melalui jalur perdagangan baik datang dari Persia, India, Mesir, Timur Tengah, Cina dan tempat lain. Kedua, oleh para ulama lokal yang telah lama bersinggungan dengan orang islam dan tertarik masuk Islam, khususnya melalui pendekatan pendidikan kesufian maupun kesaktian yang pada masa itu menjadi struktur utama ilmu bagi masyarakat Jawa. Ketiga, melalui institusi kekuasaan politik yang dimanfaatkan untuk perluasan pengaruh sekaligus peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat (Purwadi, 2004, hlm. 32). Ketiga proses islamisasi tersebut pada akhirnya merupakan jalan lempang sebagai media untuk menggerakkan budaya masyarakat pada integrasi social.
4. Latensi
Laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural yakni bahwasanya setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan kesejahteraan bersama. Latensi menunjuk pada kebutuhan mempertahankan nilai-nilai dasar serta norma-norma yang dianut bersama oleh para anggota dalam masyarakat.
Upaya melanggengkan dan menerapkan hukum agar tercapai Tata, Titi dan karta. dilakukan dengan membuat klasifikasi dan sekaligus penerapan hukum secara tertib, adil. Anglakoni sapepakeme aksarane tan angowahi sabdaningalah kang tinimbalaken dateng rasulullah saw).
a. Memelihara Perangkat pelaksana hukum (actor system social) adalah Raja, jaksa, pepatih, mantra, adipati, pangulu, ngulomo, Panjenengan kali (sunan Kalijaga dan para wali) dan mengadakan perubahan.
b. Menjaga nilai-nilai yang sudah ada sebagai sebuah pola yang sudah mapan (pattern maintance), kiblat papat dalam tata kota, Malima, Qudus menyembelih sapi, wayang dengan memberi rupa tdak persis manusia. Sistem kesaktian.
c. Sosial reward, bentuk pujian ataupun penghargaan terhadap masing-masing budaya yang saling bersinergi. Tidak ada saling menjatuhkan yang berpotensi membangun kerenggangan sosial dan merusak integrasi social.
Beberapa prinsip yang terbentuk dalam upaya mempertahankan otoritas hukum di zaman Demak dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Prinsip otoritas hukum di tangan Ulama, di Demak dalam memelihara hukum para ulama yang diwakili majlis Walisanga sangat kuat perannya dalam penerapan hukum. Dalam naskah babad Tanah jawi, para ulama memegang peranan hukum melebihi otoritas raja Demak, hal demikian terjadi sebab Demak merupakan kerajaan yang berbasis agama dan sedang mengemban misi Islamisasi di tanah Jawa.
b. Prinsip peneguhan respon akomodatif, kaum santri dan kaum abangan yang menerima Islam meskipun sisi luarnya saja, kepada mereka diadakan pembinaan dan pemberdayaan baik sisi pengetahuan maupun ekonomi.
c. Prinsip penindakan respon konfrontatif, beberapa respon konfrontatif terjadi pada kasus Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging dan Sunan Panggung. Meskipun mereka telah memeluk Islam, namun mereka melakukan upaya memasyarakatkan ajaran yang berbahaya bagi keberlangsungan syariat Islam, sehingga kepada mereka diterapkan penindakan hukum dengan cara dibunuh, khusus Sunan Panggung dihukum bakar di alun-alun kerajaan Demak, meskipun pada akhirnya dalam cerita Sunan panggung “Suluk Malangsumirang” dia selamat dari kobaran api, namun peristiwa itu menunjukkan ketegasan Demak dalam memelihara otoritas hukum Islam.
KESIMPULAN
Penelitian ini, dengan merujuk pada tiga tahap pekerjaan utama yaitu 1) philology naskah Suryangalam, 2) Content analysis tema legislasi Hukum Islam zaman Demak dalam naskah, dan 3) kontekstualisasi naskah pada ranah social engineering, maka pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa serat Suryangalam merupakan naskah digital perpustakaan Inggris (British Library) dalam bentuk manuskrip Jawa kuna, naskah ini dapat diakses bentuk micro film dengan nomor Add. 12329. Naskah ini berisi hukum perundang-undangan zaman Demak.
Selain itu, Legislasi Hukum Islam yang dapat di peroleh dari kajian naskah adalah a) sumber hukumnya berasal dari unsur Islam dan warisan lama, yaitu Kitab nash (al-Quran dan al-hadits), kitab Anwar dan naskah Kunthara Manawa Dharma sastra (kitab Hindu Majapahit). b) Peradilan Demak tiga macam yaitu Pradata, Balemangu dan Surambi; sedangkan pelaksana peradilan. c) Pelaksana peradilan yaitu raja, patih, dan pengulu, di samping dhyaksa dan para adipati.
Selanjutnya, Sosial engineering di Demak dapat ditelusuri dengan teori AGIL yaitu: a) adaptasi, yaitu upaya memperkenalkan budaya Islam dengan budaya lokal, baik dengan perdagangan, tasawuf maupun kekuasaan politik; b) Goal attainment, yaitu tujuan yang ingin dicapai Demak terwujudnya adil paramarta, Tri rasa upaya (Tata, Titi dan karta) dalam istilah lain disebut dengan Tata titi tentrem, gemah ripah loh jinawi, karta raharja. c) integrasi, yaitu upaya mengintegrasikan agama, hukum dan budaya dalam ranah hidup bermasyarakat. d) latensi, yaitu upaya mempertahankan keadilan dan kesejahteraan rakyat dengan menjaga penegakan hukum dan tata aturan social. Diantaranya mendorong terwujudnya sikap akomodatif dan kerjasama, serta menolak sikap konfrontatif yang merugikan equilibrium di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.S.Hornby. (2000). Oxford Advenced, Dictionary of current English. Univ. Pr.
Anafah, N. (1970). LEGISLASI HUKUM ISLAM DI KERAJAAN DEMAK (Studi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam). Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 5(1). https://doi.org/10.24090/mnh.v5i1.649
Dewi, T. T., Wakidi, W., & Arif, S. (2017). Peranan Sultan Fatah dalam Pengembangan Agama Islam di Jawa. PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah), 5(8). http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/14339
Echols, J. M., & Pigeaud, T. G. T. (1969). Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Publications in the Netherlands. Vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A. D. In Journal of the American Oriental Society (Vol. 89, Issue 3). Nyhoff. https://doi.org/10.2307/596639
Florida, N. K. (2019). Javanese Literature in Surakarta Manuscripts. In Javanese Literature in Surakarta Manuscripts. Cornell University Press. https://doi.org/10.7591/9781501721595
Ghofur, A. (2002). Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia. Pustaka Pelajar.
Hidayat, K. (1996). Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika. Mizan.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2008). Theories of Human Communication. Wadsworth/Thomson Learning. http://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=r3Fk0aRpJM4C&pgis=1
Munawir, M. (2010). Sosiologi Hukum. STAIN Po Press.
Neff, E. (1951). Understanding History: A Primer of Historical Method . Louis Gottschalk. In Speculum (Vol. 26, Issue 2). A.A. Knopf. https://doi.org/10.2307/2852423
Parsons, T. (1965). Theories of society. Free Pr. https://archive.org/details/theoriesofsociet0000pars
Rakhmat, J. (1999). Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar. Remaja Rosdakarya.
Ricklefs, M. C., Voorhoeve, P., & Gallop, A. T. (2014). Indonesian manuscripts in Great Britain : a catalogue of manuscripts in Indonesian languages in British public collections = Naskah-naskah Indonesia di Inggris : katalogus naskah dalam bahasa Nusantara di perpustakaan umum di Inggris.
Ritzer, G., & Stepnisky, J. (2022). Sociological theory.
Saksono, W. (1996). Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah atas metode dakwah walisongo. Mizan.
Serat Suryangalam. Add. 12.329.
Smelser, P., & Neil, T. (1998). Economy And Society. Taylor & Francis Ltd. http://public.ebookcentral.proquest.com/choice/publicfullrecord.aspx?p=240341
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2015). Penelitian hukum normatif: suatu tinjauan singkat (17th ed.). Rajawali Press.
Subroto, K. (2017). Negara Islam Di Jawa 1500 - 1700. https://pdfcoffee.com/syamina-negara-islam-di-jawa-1500-1700-pdf-free.html
Sumitro, W., & Kholish, M. A. (2014). Konfigurasi fiqih poligini kontemporer: kritik terhadap paham ortodoksi perkawinan poligini di Indonesia. Universitas Brawijaya Press.
Utomo, M. (2004). Di balik suksesi keraton Surakarta Hadiningrat. Aksara Solopos.
Zainul Milal Bizawie. (2002). Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi. KERiS ; SAMHA.
Copyright (c) 2021 M. Irfan Riyadi, Khairil Umami |
|
|
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License. |