KARAKTERISTIK PENAFSIRAN ALQURAN DAN TAFSIRNYA KARYA TIM KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA (Characteristics of The Qur'an Interpretation and Their Team Work of The Ministry of Religion of The Republic of Indonesia)
Muhammad Esa Prasastia Amnesti
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email; muhammadesa79@gmail.com
Abstract: This article will explore the characteristics of the Koran of the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia, both in terms of historical formulation and interpretation models. This research is also motivated by the claims of several scholars who state that the interpretation or translation of the Koran from the Ministry of Religion tends to be misunderstood by ordinary people. Does this article aim to review several things related to the history of the formulation of the Koran by the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia? What are the patterns and characteristics of the interpretation applied to the Koran of the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia? The results showed that the source of the interpretation of the Koran from the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia used naqli and aqli reasoning with the tahili (detailed) interpretation method and the Muqarin technique. The tendency of his interpretation emphasizes more on literary and social issues and reflects the tendency of interpretation of adab al-ijtima'i and fiqh. This interpretation product is not suitable for ordinary people because the cost is too expensive and tends to expose the opinions of scholars who require analysis.
Keywords: Indonesian Ministry of Religion's Koran, method of tafsir, interpretation of the Koran.
PENDAHULUAN
Alquran sudah banyak diterjemahkan oleh para ahli terjemah. Ada yang memakai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia, dan lain-lainnya. Ada juga yang memakai bahasa daerah, Jawa, Sunda, dan lain sebagainya. Dengan maksud adanya terjemah-terjemah tadi, umat Islam dari berbagai negara dan suku-suku banyak yang bisa memahami arti dan maksudnya (Mustofa, 2001, p. iv).
Bagi sebagian besar Umat Islam Indonesia, memahami Alquran dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa arab tidaklah mudah, karena itulah yang hendak mempelajari Alquran secara lebih mendalam tidak cukup dengan sekedar terjemah, melainkan juga diperlukan adanya tafsir Alquran, dalam hal ini tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia.
Dalam sejarah dunia Islam, kajian terhadap Alquran telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah (sebagai penafsir pertama) hingga masa kini. Berjuta juta karya tafsir Alquran telah dihasilkan oleh para ulama’. Kajian Alquran terus dilakukan dengan berbagai metode, sistematika dan pendekatannya. Sementara itu, dalam lintas sejarah Nusantara, Alquran diajarkan dan dipelajari seiring dengan masuknya Islam di Nusantara (Atabik, 2014). Gairah kajian terhadap Alquran inilah yang pada akhirnya memunculkan berbagai karya tafsir yang disebut dengan istilah tafsir di Indonesia (Indal, 2002).
Lahirnya kajian Alquran dan penafsirannya di Indonesia ini sebagai pertanda bahwa terdapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia terhadap kitab sucinya, meskipun tidak sesemarak yang telah dikaryakan oleh orang-orang Arab. Walaupun demikian perlu disyukuri adanya ulama’-ulama’ Indonesia yang telah mampu menafsirkan ayat-ayat Alquran 30 Juz lengkap semisal, Abdul Rauf al Sinkili dengan karya Tarjuma >n al - Qur’a >n , Hamka dengan karya Tafsi >r al - Azhar , Hasbi Ash-Shiddieqiy dengan karya Tafsi >r a l - Qur’a >n a l - M a ji>d a l - Nu >r , tim Kemenag dengan karya al - Qur’an dan Tafsirnya dan M. Quraish Shihab dengan karya Tafsi >r al - Mis} ba >h dan Tafsir al - Luba >b (Zuhdi, 2014).
Mempelajari Alquran dengan berpedoman pada bahasa aslinya (Arab) tidaklah hal yang gampang bagi masyarakat Indonesia. Adapun yang dapat memahami Alquran berikut tafsirnya dalam literatur Arab, hanya mereka yang pernah mukim di Timur Tengah atau sudah pernah mondok dan belajar bahasa Arab. Sebagaimana dituturkan Islah Gusmian, Ibadah haji oleh kalangan umat muslim Nusantara dulu dijadikan sebagai kesempatan untuk menimba ilmu selain tujuan ritual peribadatan. Dalam konteks inilah kajian penafsiran Alquran di Indonesia telah bersemi sejak lama (Gusmian et al., 2013). Telah menjadi catatan bahwa proses penafsiran telah muncul di Nusantara sejak abad ke 16 M. Hanya saja pada periode awal ini penafsiran masih bersifat parsial dan belum menyeluruh (Gusmian et al., 2013).
Seiring perkembangan kajian Alquran di Indonesia dari waktu ke waktu mendapatkan respon yang sangat baik dari kalangan umat muslim, pemerintah menaruh perhatian khusus pada kajian Alquran pada bidang tafsir. Melihat komunitas muslim Indonesia yang begitu besar dan banyaknya masyarakat awam yang tidak mengenal literatur Arab, sementara pesan-pesan Alquran yang berbahasa Arab sangatlah dibutuhkan, membuat para intelektual muslim yang konsen dibidang Alquran mengupayakan solusinya.
Atas dasar rekomendasi lembaga pemerintah, dibawah naungan Kementerian Agama RI, para ulama’ membentuk sebuah tim untuk melakukan proyek penerjemahan dan penafsiran Alquran dengan berbahasa Indonesia. Tim penyusun dan penyelenggara penafsiran Alquran dibawah naungan Departemen Agama RI pertama kali dibentuk pada tahun 1972 yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarji, S.H. dengan KMA No. 90. Pada tahap selanjutnya disempurnakan dengan KMA No. 8 tahun 1973. Pada tahap kedua ini, tim penyusun dan penyelenggara penafsiran Alquran diketuai oleh Prof. H. Bastami A. Gani. Seiring perjalanan penyusunan yang secara gradual terus melakukan upaya penafsiran, dibentuk kembali tim penyempurna tahap ketiga dengan KMA No. 30 tahun 1980 yang diketuai oleh K.H. Ibrahim Hosen (Kementerian Agama RI, 2012).
Dalam 10 tahun pertama, tafsir Alquran Departemen Agama (1980–1990) telah dicetak lima kali (tahun 1983/1984, 1984/1985,1985/1986,1989/1990, 1990/1991). Naskah Tafsir ini telah mengalami perbaikan atau penyempurnaan pada tahun 1985/1986, dicetak dengan menggunakan Mushaf Utsmani yang telah distandarkan sesuai dengan SK Menteri Agama No. 7 tahun 1984. Pada tahun 1989/1990 naskah tafsir tersebut diadakan perbaikan dan penyempurnaan secara menyeluruh, baik dari segi isi dan fisiknya.
Terkait dengan ide penulisan Tafsir Alquran dalam Bahasa Indonesia. Dipaparkan oleh Muhammad Maftuh Basyuni (Menteri Agama RI 2004) dalam sambutannya untuk penerbitan Alquran dan Tafsirannya Departemen Agama RI edisi yang disempurnakan 2004. Menurutnya kegiatan tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kitab suci, dengan harapan dapat membantu umat Islam untuk memahami kandungan kitab suci Alquran secara lebih mendalam (Kementerian Agama RI, 2012).
Atas ide untuk penerbitan Alquran dan Tafsirannya Departemen Agama RI ini kemudian muncul berbagai kajian tentang yang berfokus pada model penafsiran tim Kemenag RI. Islah Gusmian (2015) dalam papernya menemukan bahwa dari konteks penafsir terbagi menjadi tiga golongan yakni alumni pesantren, akademisi dan masyarakat umum. Dari segi aksara dan bahasa hasil tafsiran disampaikan dalam bahasa yang beragam yakni latin, jawi, pegon dan Lontara. Penafsiran Alquran di Indonesia juga merupakan bentuk kontekstualisasi problem sosial ala masyarakat Indonesia. Selanjutnya, kajian yang lebih spesifik dilakukan oleh Nurul Huda Maarif (2017), dalam kajiannya penulis berupaya memotret sejauh mana kemanfaatan, kelebihan, kekurangan, termasuk situasi ekonomi politik Orde Baru yang oleh beberapa kalangan diasumsikan sebagai bentuk penafsiran yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan waktu itu. Senada dengan itu, Arif Kurniawan (2019) juga mengaji hal yang sama yang mengaji motivasi dibalik Tafsir Alquran Tematik Kementerian Agama menggunakan pendekatan hermeunitik. Dalam kajiannya, ia menyatakan bahwa relasi kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari corak penafsiran A-Quran Kemenag.
Tidak dipungkiri bahwa kajian terhadap Tafsir Kemenag RI sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, hanya saja penelitian di atas cenderung menghubungkan penafsiran Kemenag RI dengan Kekuasaan Politik.
Artikel ini, mencoba menggali karakteristik dan bentuk penafsiran Alquran Kemenag RI dan memosisikannya bukan sebagai produk pemerintah, melainkan produk penafsiran oleh ulama dan akademisi Indonesia. Artikel ini mengaji Alquran Kemenag RI layaknya kitab tafsir lainnya.
METODE
Artikel ini menggunakan beberapa pendekatan yakni pendekatan historis untuk mengaji bagaimana perkembangan Alquran dan Tafsirnya versi Kemenag RI, menguraikan siapa penyusunannya, pendekatan content analysis digunakan untuk mengkaji bentuk penafsiran yang diterapkan pada Alquran dan Tafsirnya versi Kemenag RI. Selain itu, objek penelitian difokuskan pada produk tafsir Kemenag yakni Alquran dan Tafsirnya versi Kemenag RI terbitan tahun 2012 (Kementerian Agama RI, 2012).
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Alquran dan Tafsir Kemenag RI
Atas dasar rekomendasi lembaga pemerintah, dibawah naungan Kementerian Agama RI, para ulama’ membentuk sebuah tim untuk melakukan proyek penerjemahan dan penafsiran Alquran dengan berbahasa Indonesia. Tim penyusun dan penyelenggara penafsiran Alquran dibawah naungan Departemen Agama RI pertama kali dibentuk pada tahun 1972 yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarji, S.H. dengan KMA No. 90. Pada tahap selanjutnya disempurnakan dengan KMA No. 8 tahun 1973. Pada tahap kedua ini, tim penyusun dan penyelenggara penafsiran Alquran diketuai oleh Prof. H. Bastami A. Gani. Seiring perjalanan penyusunan yang secara gradual terus melakukan upaya penafsiran, dibentuk kembali tim penyempurna tahap ketiga dengan KMA No. 30 tahun 1980 yang diketuai oleh K.H. Ibrahim Hosen (Kementerian Agama RI, 2012).
Tafsir dengan nama “Alquran dan Tafsirnya” yang telah disusun oleh tim tersebut diatas, baru pada tahun 1975 dapat di terbitkan karya tafsir jilid 1 yang memuat juz 1-3 kemudian disusul jilid-jilid berikutnya. Tafsir dengan lengkap 30 juz baru dapat terbit pada tahun 1980. Demikian masih dalam format yang sederhana. Perbaikan dan penyempurnaan terus diupayakan di berbagai aspek, baik dalam penafsiran maupun format penyusunan. Usaha ini dilakukan oleh Lajnah Pentashih Alquran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Hasil perbaikan dan penyempurnaan oleh Lajnah Pentashih Alquran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan diterbitkan pada tahun 1990.
Kendati telah dilakukan penyempurnaan, perbaikan tidak pada aspek substansial, namun banyak pada aspek kebahasaan. Pada tahun 2003 dibawah Menteri Agama yang berbeda, Kementerian Agama menurunkan keputusan dengan No 280 tahun 2003. Keputusan ini merekomendasikan untuk membentuk sebuah tim untuk melakukan penyempurnaan Tafsir Kementerian Agama secara menyeluruh. Upaya ini dilakukan atas tuntutan perkembangan zaman, dimana perkembangan bahasa, dinamika masyarakat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan pesat bila dibandingkan dengan tafsir yang pertama kali diterbitkan hampir 30 tahun silam. Tim penyempurnaan Tafsir Kementerian Agama secara menyeluruh ini diketuai oleh
Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA dibawah koordinasi Puslitbang Lektur Keagamaan dan sejak tahun 2007 dikoordinasikan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI (Kementerian Agama RI, 2010).
Dalam upaya mensosialisasikan Tafsir Kementerian Agama, tafsir diterbitkan secara bertahap. Pada tahun 2004 diterbitkan Juz 1-6, tahun 2005 Juz 7-12, tahun 2006 Juz 13-18, tahun 2007 Juz 19-24, dan pada tahun 2008 juz 25-30. Setiap cetakan perdana diterbitkan secara terbatas. Hal ini agar mendapatkan masukan dari berbagai kalangan untuk penyempurnaan selanjutnya.
Kehadiran Alquran dan tafsirnya yang secara keseluruhan telah selesai diterbitkan, sangat membantu masyarakat untuk memahami makna ayat-ayat Alquran, walaupun disadari bahwa tafsir Alquran yang aslinya berbahasa arab itu, penerjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya sesuai dengan maksud kandungan ayat-ayat Alquran. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penerjemah dan penafsir untuk mengetahui secara tepat maksud Alquran sebagai kalamullah (Kementerian Agama RI, 2012).
Kegiatan penyusunan Alquran dan terjemahan merupakan proyek masa pemerintahan presiden Suharto dan menteri Agamanya KH. Ahmad Dahlan (1967-1973). Dalam pembangunan lima tahun (pelita) yang dimulai sejak pertengahan pelita pertama dan baru selesai pada pertengahan pelita kedua (Parwoto, 2017).
Kegiatan selanjutnya adalah penyusunan kitab Tafsir Alquran. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tahun 1980 oleh satu tim, yang diketuai oleh Prof. K.H. Ibrahim Husein LML (SK. Menteri Agama No. 30 tahun 1980). Ketua sebelumnya adalah Prof. Dr. H. Bustami A. Gani (SK. Menteri Agama No. 8 tahun 1973). Kegiatan penafsiran tersebut selain melanjutkan proyek pemerintah orde baru, disisi lain diharapkan dapat membantu umat Islam agar lebih memahami kandungan kitab suci Alquran yang lebih mendalam.
Dalam 10 tahun pertama, tafsir Alquran Departemen Agama (1980–1990) telah dicetak lima kali (tahun 1983/1984, 1984/1985,1985/1986,1989/1990, 1990/1991). Naskah Tafsir ini telah mengalami perbaikan atau penyempurnaan pada tahun 1985/1986, dicetak dengan menggunakan Mushaf Utsmani yang telah distandarkan sesuai dengan SK Menteri Agama No. 7 tahun 1984. Pada tahun 1989/1990 naskah tafsir tersebut diadakan perbaikan dan penyempurnaan secara menyeluruh, baik dari segi isi dan fisiknya.
Tulisan Arab juga lebih diperindah sedangkan penulisan terkait ḥadiṣ dilengkapi dengan matan dan sanadnya, demikian pula dengan isi dan redaksinya. Perbaikan dan penyempurnaan tafsirnya terus dilakukan pada setiap tahunnya (Kementerian Agama RI, 2010). Pada Tahun 1990/2007 Departemen Agama RI telah menyelesaikan penyempurnaan Alquran dan Tafsirnya sejumlah 10 jilid dari juz 1 sampai dengan 30 (Kementerian Agama RI, 2010).
Terkait dengan ide penulisan Tafsir Alquran dalam Bahasa Indonesia. Dipaparkan oleh Muhammad Maftuh Basyuni (Menteri Agama RI 2004) dalam sambutannya untuk penerbitan Alquran dan Tafsirannya Departemen Agama RI edisi yang disempurnakan 2004. Menurutnya kegiatan tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kitab suci, dengan harapan dapat membantu umat Islam untuk memahami kandungan kitab suci Alquran secara lebih mendalam (Kementerian Agama RI, 2012).
Tim penyusun Alquran dan Tafsirnya
Kehidupan masyarakat yang semakin maju dan berkembang memunculkan permasalahan terhadap agama semakin komplit. Hal ini mendorong menteri agama berinisiatif membentuk tim penyusun tafsir Alquran yang disebut dewan penyelenggara penafsiran Alquran yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo SH berdasarkan surat keputusan KMA. No. 90 Tahun 1972. Kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8 Tahun 1973 dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani yang selanjutnya disempurnakan lagi dengan KMA. No. 30 tahun 1980 dengan ketua tim Prof. KH. Ibrahim Husain, LML dengan susunan sebagai berikut (Kementerian Agama RI, 2012):
1. Prof. KH. Ibrahim Hosain, LML Ketua
2. KH. Syukri Gazali Wakil Ketua
3. R.H. Hoesein Thoib Sekretaris
4. Prof. H.Bustami A.Gani Anggota
5. Prof. Dr. K.H. Muchtar Yahya Anggota
6. Drs. Khamil Muchtar Anggota
7. Prof. K.H. Muchtar Yahya Anggota
8. K.H. Sapari Anggota
9. K.H. Muchtar Luthfi El Ansari Anggota
10. Drs. J.S. Badudu Anggota
11. H. M. Amin Nasir Anggota
12. H.A. Azis Darmawijaya Anggota
13. K.H. M. Nur Asjik, MA. Anggota
14. KH. A. Razak Anggota
Sebagai tindak lanjut musyawarah kerja ulama Alquran. Kementerian Agama telah membentuk tim dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 tahun 2003 dan kemudian ada penyertaan dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang susunannya sebagai berikut:
1. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzar (pengarah)
2. Drs. H. Fadhal AR. Bafadal, M.Sc. (pengarah)
3. Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad (ketua merangkap anggota)
4. Prof. KH. Ali Mustafah Yaqub, MA. (wakil ketua)
5. Drs. H. M. Shohib, MA. (sekretaris merangkap anggota)
6. Prof. Dr. H. Rif‟at Syauqi Nawawi, MA. ( anggota)
7. Prof. Dr. Salman Harun (anggota)
8. Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi (anggota)
9. Dr. H. Muslih Abdul Karim (anggota)
10. Dr. H. Ali Audah (anggota)
11. Dr. H. Muhammmad Hisyam (anggota)
12. Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA (anggota)
13. Prof. Dr. H. Muhammad Salim Umar, MA (anggota)
14. Drs. H. Muhammad Sibli Sardjaja, LML (anggota)
15. Drs. H. Mazmur Sya’roni (anggota)
16. Drs. H. Muhammad Syatibi AH. (anggota)
Staf sekretariat
1. Drs. H. Rosehan Anwar, APU
2. Abdul Aziz Sidqi, M. Ag
3. Jonni Syatri, S. Ag
4. Muhammad Musaddad S. Th.I
Tim tersebut didukung oleh menteri Agama, selaku pembinanya adalah KH. Sahal Mahfudz, Prof. Ali Yafie, Drs. Asmuni, Abdul Rahman, Prof. Drs. Kamal Mukhtar dan KH. Syafi’i Hadzami (Alm) selaku penasehat. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dan Prof. Dr. Said Agil Husain al-Munawwar MA selaku konsultan ahli.
Karakteristik Penulisan dan Metode Penafsiran
Dilihat dari segi metode yang digunakan, secara umum Tafsir Kementerian Agama RI ini menggunakan metode tahlili (Kementerian Agama RI, 2012). Metode Tahlili yaitu suatu metode yang dalam menafsirkan Alquran, ayat demi ayat secara analisis menurut mushaf. yaitu dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nās. Untuk itu, ia menguraikan kosa kata dan lafaẓ, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur i’jaz dan balāga, serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan dan hukum. Walaupun disisi lain juga tafsir ini menggunakan metode maudhu’i. sekalipun sifatnya sederhana yaitu dengan memberikan tema-tema tertentu pada surat yang dibahas (Musaddad, 2017).
Latar belakang keilmuan mufassir sangatlah berpengaruh terhadap subjektivitas penafsirnya. Apalagi ketika Tafsir Alquran Dan Tafsirnya, ini merupakan produk negara maka tak jarang penulis temukan dalam penafsirannya semangat bernegara dan sosial kemasyarakatan. Sehingga tafsir yang demikian itu pasti memunculkan ijtihad tersendiri. Menurut pengamatan penulis kecenderungan yang tampak dari tafsir ini adalah aspek adabi al-ijtima’i (sosial kemasyaraktan) dan Fikih (persoalan fikih).
Kecenderungan adabi al-ijtima’i (sosial kemasyarakatan) menempatkan penafsiran tim penyempurna sangat “aktif” terhadap permasalahan sosial. Pembahasan tafsirnya juga disampaikan melalui bahasa yang mudah dimengerti oleh semua golongan masyarakat, dan analogi atau permisalan yang dipakai juga menyangkut kehidupan sehari-hari. Baik itu dalam ranah keluarga masyarakat maupun bernegara (Umamik, 2019). Dicontohkan sebagaimana ketika menafsirkan surah an-nur ayat 2 yang menjelaskan tentang zina dan hukumannya di uraikan tentang hukuman bagi orang yang zina muhson dengan zina ghoiru muhson, dan bagaimana hukuman itu dilaksanakan.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٍۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٌ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Lebih lanjut Tim Kemenag RI kemudian menyatakan bahwa akibat zina kenyataannya adalah bahwa budaya pergaulan bebas laki-laki dan perempuan elah menimbulkan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan, yaitu HIV/AIDS, hilangnya sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya yang bersangkutan akan mati secara perlahan. Kemudian tim penyempurna menguraikan bahwa akibat dari zina adalah munculnya banyak bayi lahir diluar nikah, sehingga mengacaukan keturunan dan pada gilirannya mengacaukan tatanan hukum sosial (Kementerian Agama RI, 2012).
Penggalan tafsir diatas adalah bukti bagaimana tim penyempurna berusaha mengaitkan pesan ayat Alquran dengan problem kemasyarakatan yang dihadapi oleh manusia. Dengan demikian pada penafsiran diatas menggunakan kecenderungan adabi ijtima’i. Begitu pula ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran yang lain.
Alquran dan tafsirnya juga memiliki multi nuansa yang menjadi cakrawala bagi tafsir ini. Jika dilihat dari sisi kebahasaan, maka tafsir ini memiliki karakter kesana, dimana dalam setiap awal penafsiran ayat dibubuhi dengan pendekatan linguistik. demikian menjadi karakter kebahasaan yang muncul untuk tafsir edisi yang disempurnakan. Berbeda dengan edisi sebelumnya yang tidak disinggung masalah kebahasaannya.
Disisi lain dari isi uraian tafsiran, Alquran dan tafsirnya ini termasuk dalam tafsir yang memiliki nuansa sosial kemasyarakatan dimana uraian tafsir merupakan respon atas keislaman masyarakat Indonesia, sehingga tafsir yang dihidangkan bersifat hida’i yakni bersifat memotivasi atau memberi pencerahan. Terlihat dalam setiap uraian tafsir agar pembaca mendapatkan kemudahan mengambil pemahaman, disajikan uraian singkat yang terangkum dalam kesimpulan di tiap-tiap tema bahasa ayat. Nuansa sosial kemasyarakatan dalam Alquran dan Tafsirnya ini juga dikemukakan oleh Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah tafsir Indonesia (Gusmian, 2015).
Dari sisi lain nuansa teologis ikut mewarnai karya tafsir ini. sebagaimana dikemukakan Kepala Lajnah Pentashih Alquran M. Shohib Thohar Alquran dan Tafsirnya ini dapat dikatakan sebagai tafsir sunni, yakni tafsir yang menggunakan prinsip ajaran ahlusunnah wal jamā’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah). Sisi lain yang juga terlihat dari tafsir ini adalah sisi kebahasaan (lug}awi), sisi filosofis (falsafi), hukum, serta logika ilmu pengetahuan. Ayat yang mengandung hukum, ditafsirkan dengan mengacu pada mazhab syafi’i dengan banyak menyebutkan dalil-dalil yang menguatkan madzhab tersebut (Rahman, 2009).
Sebagai contoh penafsiran ayat yang mengandung sumber hukum dengan mengacu pada pendapat madzhab Syafi’i yakni dalam menafsirkan ayat 228 surah al-Baqārah.
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۚ.... ٢٢٨
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.”
Kata qurū’ pada ayat tersebut diartikan suci sebagaimana telah populer dalam madzhab syafi’i. Contoh lain yakni pada penafsiran surah al-Fatikhah, lafal basmalah pada surah ini digolongkan sebagai bagian dari surah al fatihah. Demikian dengan mengemukakan riwayat yang menguatkan pandangan madzhab Syafi’I (Rahman, 2009).
Literatur Tafsir Kementerian Agama RI
Dari awal penyusunannya, tafsir ini disusun oleh tim yang terdiri dari para pakar dalam bidang Alquran, hadits maupun ilmu pengetahuan Islam lainnya yang terkait. Dalam edisi revisi, rujukan yang digunakan mengalami penambahan. Pada awalnya rujukan mengacu pada kitab – kitab tafsir masyhur seperti Tafsir al-Marāghī karya Muṣṭafā al-Marāghī (1881-1945), Kitab ini terdiri dari 30 juz yang disusun menggunakan metode tahlīlī untuk urutan pembahasannya, yaitu dengan menjelaskan pengertian kata-kata, makna dan sebab-sebab turunnya ayat pada ayat-ayat yang dianggap satu kelompok, kemudian memberikan penafsiran yang lebih rinci mengenai ayat tersebut, Selanjutnya, Mahāsin al-Ta’wīl karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Said bin Qasim al-Qasimi, yang dikenal dengan Tafsīr al-Qasimi, kemudian, Tafsir Anwār at-Tanzīl wa Asrār at-Ta’wīl oleh Abdullah bin Umar al-Baidawi, yang dikenal dengan Tafsir Baidawi, dan Tafsīr Alquran al-‘Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr. (Baidan, 2002). Setelah dilakukan revisi, setidaknya tidak kurang dari 60 literatur yang dikutip termasuk di dalamnya bibel atau yang dikenal dengan riwayat Israiliyat. Sebagaimana dalam karya tafsir, riwayat- riwayat israiliyat telah dikemukakan dalam kitab tafsir seperti at-Thabari dan al-Qurthubi (Baidan, 2002).
Jika dilihat dari tafsir yang menjadi rujukan utama penulisan kitab Alquran dan tafsirnya, menunjukkan bahwa arah dari penafsiran berpedoman pada teologi ulama’ Sunni (ahlus sunnah wa al-jama’ah). Telah diketahui bahwa karya tafsir seperti yang dikemukakan adalah kitab-kitab tafsir karya ulama’ Sunni dan menjadi rujukan para ulama’ Sunni pula.
Apabila dilihat jumlah referensi yang terdapat dalam daftar pustaka, terhitung 82 literatur buku bacaan yang menjadi sumber rujukan. Kesemuanya mencakup berbagai disiplin ilmu, baik dari literatur tafsir, fikih, maupun ilmu pendukung lainnya. Demikian ini menunjukkan bahwa tafsir yang disusun oleh tim dari Kementerian Agama ini merupakan hasil dari upaya merealisasikan tafsir dalam bahasa Indonesia yang kaya akan ilmu pengetahuan sebagai estafet dari perkembangan tafsir yang sesuai dengan tempat dan zaman serta peruntukan tafsir tersebut.
Yang menarik di sini adalah adanya bukti rujukan bibel yang dipakai ketika menerangkan kosa kata Harun dalam surat Taha (20:30) bahwa yang berperan dalam menghadapi Firaun adalah Harun, bukan Musa. Peranan Musa ialah sesudah mereka keluar dari mesir. (sekitar Harun dengan Musa memang terjadi kontroversial dikalangan yahudi sendiri). Dalam kitab keluaran 32:16 yang mengumpulkan perhiasan emas itu Harun. Harun memerintahkan istri dan anak, laki-laki dan perempuan melepaskan anting-anting emasnya dan dibawa kepadanya kemudian dibentuknya dengan pahat dan dibuatnya dari [adanya anak lembu tuangan]. Menurut tim penyempurna sudah barang tentu hal ini tidak masuk akal, karena Harun dan Musa sama-sama berjuang mati-matian untuk menegakkan kalimat tauhid, dan sebelum itu pun Harun telah mengatakan kepada kaumnya bahwa yang patut disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa (Surat Taha ayat 90) lebih lanjut lagi bahwa terdapat banyak perbedaan dengan Alquran bahwa sementara musa pergi ke gunung Sina untuk memenuhi janji Tuhan itu ada sesorang yang pandai dan licik “samiri” yang memanfaatkan kesempatan itu untuk dengan membuat anak sapi dari emas yang dapat bersuara (mengulu) untuk menjadi sembahan mereka (Surat Taha ayat 85-97) (Umamik, 2019).
Sistematika penulisan Alquran dan Tafsirnya
Dalam kitab Alquran dan tafsirnya tim penyusun menjelaskan tentang sistematika penulisan diantaranya: Pertama, diawali dengan judul, yang disesuaikan dengan kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan. Kedua, penulisan kelompok ayat. Rasm yang digunakan adalah rasm dari mushaf standar Indonesia yang sudah banyak beredar dan disebarluaskan oleh Departemen Agama. Ketiga, terjemah, adapun terjemah yang digunakan Alquran dan terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Departemen Agama tahun 2004. Keempat, kosa kata, dalam penulisan kosa kata yang diuraikan terlebih dahulu adalah kata dasar dari kata tersebut, lalu diuraikan pemakaian kata tersebut dalam Alquran dan kemudian mengetengahkan arti yang paling pas untuk kata tersebut pada ayat yang sedang ditafsirkan.
Kelima, munasabah. Munasabah antara surat dengan surat sebelumnya dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat sebelumnya. Keenam, Asbābun Nuzȗl sebagai sub tema dan sub judul apabila terdapat beberapa riwayat Asbābun Nuzȗl tentang ayat yang berkaitan. Ketujuh, tafsir, secara garis besar penafsiran tidak banyak mengalami perubahan hanya diadakan perbaikan dalam beberapa aspek, seperti men-takhrij hadis atau ungkapan yang belum di-takhrij atau mengeluarkan hadis yang tidak shahih. Kedelapan. Kesimpulan, dalam kesimpulan ini tim banyak melakukan perbaikan. Misalnya berusaha menguraikan tentang sisi hidayah dari ayat yang telah ditafsirkan. Baik saat penyusunan awal hingga tahapan penyempurnaan, tafsir ini ditulis secara kolektif oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang terkait (Kementerian Agama RI, 2012).
Analisis Alquran dan Tafsirnya Kemenag RI
Alquran dan Tafsirnya Kemenag RI dalam perkembangannya, mendapat perhatian oleh para ahli untuk dikaji lebih lanjut. Salah satunya Ismail Lubis yang mengkaji Alquran dan Tafsirnya Kemenag RI oleh Tim Kemenag dalam disertasi yang dibukukan menjadi Falsifikasi Terjemahan Alquran Departemen Agama Edisi 1990 (Lubis, 2001).
Pertama, kehadiran Alquran dan Tafsirnya karya Departemen Agama di waktu yang tepat telah mengisi kekosongan kajian Tafsir masyarakat Indonesia. Dimana pada saat itu masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim membutuhkan kajian tafsir yang dapat dijadikan pegangan dalam menjalankan ibadah. Sehingga kehadiran kitab Alquran dan Tafsirnya ditengah-tengah masyarakat Indonesia memberikan manfaat yang luar biasa, di saat ilmu pengetahuan yang terus berkembang (Shihab, 2006).
Kedua, para pakar yang dipilih dalam penyusunan kitab Alquran dan tafsirnya, mereka adalah orang-orang yang memiliki kualitas dan kapabilitas yang mumpuni dalam bidangnya. Sehingga karya tersebut cukup baik dijadikan referensi bagi mahasiswa, dan para kyai untuk bahan ceramah (Gusmian et al., 2013). Ketiga, Selain dari kedua kelebihan yang telah dipaparkan diatas, yang paling menonjol adalah kesimpulan. Kesimpulan selalu diberikan ketika selesai memaparkan beberapa ayat. Dengan adanya kesimpulan memudahkan pembaca untuk menangkap pesan dari pemaparan yang panjang lebar tersebut (Gusmian et al., 2013).
Pertama, menurut Muhammad Quraish Shihab kitab Alquran dan Tafsirnya sasarannya tidak jelas, ditujukan kepada siapa. Kitab tersebut sebenarnya untuk masyarakat awam, intelektual atau masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi. Kalau melihat bilangan jilidnya sepuluh jilid ditambah dengan 1 jilid muqaddimah cetakan UII Yogyakarta tahun 1991 M dan dengan jumlah yang melebihi 7000 halaman, terkesan bahwa ia ditujukan kepada masyarakat berpendidikan tinggi dan itu pun bagi masyarakat yang memiliki penghasilan yang memadai. Jika kitab Alquran dan Tafsirnya tersebut untuk cendekiawan maka seharusnya dipersingkat pembahasannya sehingga tidak terlalu bertele-tele dengan memaparkan banyak contoh dan riwayat. Jika diperuntukkan untuk masyarakat umum tentu tidak mampu membeli satu judul buku yang terdiri dari ribuan halaman, dan juga tidak akan betah membaca hingga selesai (Gusmian et al., 2013).
Kedua, terkait dalam memaparkan pendapat para ulama yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat, perlu ditengahi agar tidak menimbulkan kesan bahwa hanya satu pendapat yang paling benar. Fungsi Alquran sebagai “ma’dubat Allah” (hidangan Allah) yang tentu saja beraneka ragam pilihan suguhannya, perlu benar-benar tampak. Benar dalam Alquran dan Tafsirnya keragaman itu sesekali telah disinggung, tetapi uraiannya belum cukup untuk melahirkan toleransi ditengah-tengah masyarakat kita sebagaimana sebagian diantaranya tidak memiliki relevansi dengan situasi dewasa ini, paling tidak memiliki relevansi dengan situasi saat ini, paling tidak misalnya masyarakat Indonesia. Misalnya, pembahasan panjang lebar tentang boleh tidaknya diperjual belikan areal Masjid al-Haram (Shihab, 2006).
Ketiga, Dalam isi kitab Alquran dan Tafsirnya menukil cukup banyak riwayat, tetapi tidak jarang sekian riwayat memiliki pesan yang sama. Kemudian dalam memaparkan sebuah hadis, kurang teliti memilih mana yang hadis shahih mana yang tidak shahih (Shihab, 2006). Selanjutnya, alangkah baiknya jika pada awal setiap surat, dikemukakan tema utama dan tujuan pokok dari uraian surat yang ditafsirkan (Shihab, 2006).
Contoh Penafsiran
Q.S. al-Qamar yang terdiri dari 55 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyah, diturunkan sesudah surah at-Thariq dan berkenaan sebagai contoh dari kajian ini, penulis hanya mengambil dari ayat 1 sampai 8. Nama al-Qamar (bulan) di ambil dari kata al-Qamar (yang terdapat pada ayat yang pertama surah ini). Pada ayat ini diterangkan tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat.
ٱقۡتَرَبَتِ ٱلسَّاعَةُ وَٱنشَقَّ ٱلۡقَمَرُ ١ وَإِن يَرَوۡاْ ءَايَةً يُعۡرِضُواْ وَيَقُولُواْ سِحۡرٌ مُّسۡتَمِرٌّ ٢ وَكَذَّبُواْ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُمۡۚ وَكُلُّ أَمۡرٍ مُّسۡتَقِرٌّ ٣ وَلَقَدۡ جَآءَهُم مِّنَ ٱلۡأَنۢبَآءِ مَا فِيهِ مُزۡدَجَرٌ ٤ حِكۡمَةُۢ بَٰلِغَةٌ ۖ فَمَا تُغۡنِ ٱلنُّذُرُ ٥ فَتَوَلَّ عَنۡهُمۡۘ يَوۡمَ يَدۡعُ ٱلدَّاعِ إِلَىٰ شَيۡءٍ نُّكُرٍ ٦ خُشَّعًا أَبۡصَٰرُهُمۡ يَخۡرُجُونَ مِنَ ٱلۡأَجۡدَاثِ كَأَنَّهُمۡ جَرَادٌ مُّنْتَشِرٌ ٧ مُّهۡطِعِينَ إِلَى ٱلدَّاعِۖ يَقُولُ ٱلۡكَٰفِرُونَ هَٰذَا يَوۡمٌ عَسِرٌ ٨
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus". Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka). Maka berpalinglah kamu dari mereka. (Ingatlah) hari (ketika) seorang penyeru (malaikat) menyeru kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan). Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. Mereka datang dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang kafir berkata: "Ini adalah hari yang berat"”.
Munasabah pada ayat-ayat yang lalu (akhir surah al-Najm) dijelaskan bahwa hari kiamat telah dekat, oleh karena itu jangan kaget terhadap berita tersebut pada ayat-ayat berikut dijelaskan bahwa kiamat itu benar-benar telah dekat dan cirinya antara lain yaitu bulan akan pecah berkeping-keping karena menyimpang dari peredarannya. Alquran dan Tafsīrnya Kemenag RI dalam menafsirkan ayat tersebut di atas dengan menghubungkannya terlebih dahulu pada ayat dari surat yang lain seperti pada firman Allah yang artinya; ”Ketetapan Allah pasti datang maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang)nya (Q.S. al-Nahl(16):1)”, “Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia) berpaling (dari akhirat) (Q.S. al-Anbiyā’ (21):1)”, Saat itu bulan akan terpecah akibat penyimpangan dari peredarannya, sebagaimana dijelaskan pada ayat lain. “Apabila langit terbelah (Q.S. al-Insyiqāq (84): 1)”, “Apabila matahari diguling, dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (Q.S. al-Takwīr (81): (1-2)”. Selain ayat sebagamana tersebut diatas, didapati pada ayat lainnya terkait dengan kejadian dahsyat pada saat tibanya hari kiamat.
Kesimpulan dari Q.S. al-Qomar ayat 1-8 dalam Alquran dan Tafsīrnya Kemenag RI, disebutkan seperti: (1) Diantara tanda-tanda kiamat yaitu terpecahnya bulan; (2) Orang-orang musyrik mekkah senantiasa mendustakan setiap peristiwa dan berita yang dibawah Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu peringatan dan pemberitahuan yang disampaikan tidak ada gunanya; (3) Pada saat hisab manusia akan digiring dan bangkit dari kubur secara bersama-sama menuju tempat perhitungan amal, pada saat itu tidak ada seorangpun ingkar, meskipun hati mereka sangat berat; (4) Hari kiamat adalah hari yang sangat berat bagi orang-orang kafir.
Berdasarkan contoh di atas dapat dipahami bahwa Alquran dan Tafsīrnya Kementerian Agama RI ini menggunakan metode tahlīlī. Walaupun di sisi lain juga Tafsīr ini menggunakan metode mauḍū’ī. sekalipun sifatnya sederhana yaitu dengan memberikan tema-tema tertentu pada surat yang dibahas.
KESIMPULAN
Konsep penafsiran Tim Kemenag RI ditinjau dari aspek sumber penafsiran, menggunakan nalar naqli dan aqly secara sekaligus, sehingga sumbernya dikategorikan sebagai iqtirany. Kemudian dalam hal metode penafsiran dari segi keluasan, tergolong tafsir tahili (rinci) lalu dalam segi penyampaian tafsirnya melalui suat tema pembahasan sehingga termasuk kategori metode Muqarin (perbandingan), sedangkan menurut segi tertib penulisan tafsir suatu ayat merupakan gambaran tafsir tahlili atau mushafi. Kecenderungan tafsirnya lebih menekankan persoalan sastra dan sosial kemasyarakatan dan juga mencakup hukum fiqih, yang disampaikan dengan bahasa keseharian sehingga mencerminkan kecendrungan tafsir adab al-ijtima’i dan fiqih.
Kehadiran Alquran dan Tafsirnya Karya Kemenag RI mampu mengisi kekosongan kitab tafsir di Indonesia. Hasil penafsiran yang dilakukan oleh para pakar juga dapat diandalkan kredibilitasnya. Namun, tafsirnya dinilai kurang efisien dari segi susunan, terlalu tebal dan biaya mahal. Tafsir ini kurang cocok bila dikatakan sebagai tafsir untuk masyarakat awam, pemaparan pendapat ulama yang tebang pilih dan pemilihan hadist yang dinilai sembarangan menjadi salah satu faktornya.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, A. (2014). PERKEMBANGAN TAFSIR MODERN DI INDONESIA. Hermeneutik : Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir; Vol 8, No 2 (2014): Available December 2014DO - 10.21043/Hermeneutik.V8i2.895 . https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik/article/view/895
Baidan, N. (2002). Metodologi Penafsiran Alquran. Pustaka Pelajar.
Gusmian, I. (2015). Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika. Nun Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir Di Nusantara, 1(1), 1–32. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.32459/nun.v1i1.8
Gusmian, I., Arifin, A., & (Yogyakarta), L. K. I. dan S. (LKiS). (2013). Khazanah tafsir Indonesia dari hermeneutika hingga ideologi.
Indal, A. (2002). Potret Kronologis Tafsir Indonesia. Jurnal Esensia, 3(2).
Kementerian Agama RI. (2010). Mukadimah Alquran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Lentera Abadi.
Kementerian Agama RI. (2012). Al Qur’an dan Tafsirnya. Sinergi Pustaka.
Kurniawan, A. (2019). Tinjauan Strategi Wacana Kuasa Pemerintah dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI. HERMENEUTIK, 12, 35. https://doi.org/10.21043/hermeneutik.v13i2.6353
Lubis, I. (2001). Falsifikasi Terjemahan Alquran Departemen Agama. Tiara Wacana Yogya.
Maarif, N. H. (2017). Mengenal Kitab Al-Qur’an Wa Tafsiruhu Departemen Agama Republik Indonesia,. Samawat, 1(1), 77–92.
Musaddad, E. (2017). Studi Tafsir di Indonesia; Kajian Atas Tafsir Karya Ulama Nusantara. Sintesis.
Mustofa, B. (2001). Al-Ibriz : makrifatul tafsiril Qura’nil aziz bilohutil Jawi’ah. Menara Kudus. http://books.google.com/books?id=A-HXAAAAMAAJ
Parwoto, A. (2017). Disorientasi Seksual Dalam Tafsir Indonesia (Studi Tafsir Departemen Agama RI). UIN Raden Intan Lampung.
Rahman, A. (2009). Profil Tafsir Depag RI. Blogspot. http://andiwowo.blogspot.com/2009/05/profil-tafsir-depag-ri-telah-dimuat.html?m=1
Shihab, M. Q. (2006). Menabur Pesan Ilahi: Alquran dan Kehidupan Dinamika Masyarakat. Lentera Hati.
Umamik, M. I. (2019). Alquran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Karya Tim Kementerian Agama Republik Indonesia: Tinjauan Epistemologi. UIN Surabaya.
Zuhdi, M. N. (2014). Pasaraya tafsir Indonesia : dari kontestasi metodologi hingga kontekstualisasi.
Copyright (c) 2021 Muhammad Esa Prasastia Amnesti |
|
|
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License. |