KONSEP MASA BERLAKU PERLINDUNGAN HAK CIPTA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (The Concept of Copyright Protection Period According to Islamic Law)

 

 

Achmad Baihaqi1, Said Abadi2

12Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Email: achmadbaihaqi.iain@gmail.com, abadi@iainponorogo.ac.id

 

 

Abstract: The issue of Intellectual Property Rights has not been discussed or even described by classical fiqh scholars in-depth and thoroughly. One aspect that has not been studied is the issue of the period of copyright protection. The assumption is that if copyright protection is not limited in time, it will lead to a monopoly of creation by a few people. Therefore, the purpose of this study is to clearly describe and compare the terms of copyright protection in the Copyright Act and Islamic Law using the Maqashid Syariah perspective. The method used is a qualitative study (library research) with a comparative approach. The results of the study indicate that the period of copyright protection according to Islamic law, for the type of moral rights is valid forever, while for the type of economic rights it applies trade (willingness of the heart) with the provision that the shorter (reasonably) is, the better as long as it does not harm the creator. In addition, the State can determine the period of copyright protection through its regulations according to the country's ability.

 

Keywords; Copyright Protection Period, Copyright, Islamic Law

 

 

PENDAHULUAN

Hak  Kekayaan  Intelektual  adalah  salah  satu  cabang  hukum  yang  sangat  dekat  dengan  kehidupan  manusia.  Namun,  dikarenakan metode  penyampaian  dan  perspektif  yang  digunakan  kurang  tepat,  HKI  sering  dianggap  sebagai  produk  dari  masyarakat  barat  dan  kurang  relevan  dengan  kehidupan  di  negara-negara  berkembang,  termasuk  Indonesia.

Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) sebagai sebuah konsep berasal dan berkembang di negara barat.  Oleh karena itu, manfaat sistem HKI lebih sering didengungkan oleh negara-negara maju selaku produsen atau penghasil HKI.  Kebanyakan argumen yang diajukan sebagai pembenar terhadap sistem HKI didasarkan kepada perspektif pembangunan ekonomi, peningkatan inovasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama bertahun-tahun, para ahli memfokuskan studi mereka terhadap pembenaran sistem HKI dari perspektif ekonomi dengan melakukan analisa keuntungan dan kerugian sistem HKI bagi negara-negara berkembang (Utomo, 2010).

Hak milik adalah masalah pokok dalam dunia ekonomi, dari mana ia diperoleh dan bagaimana konsekuensinya yang muncul dari pemilikan tersebut. Sedangkan hak milik atas sesuatu benda adalah satu fenomena yang senantiasa ada, hingga dipandang sebagai salah satu aspek kebutuhan esensial dalam hidup manusia. Umat manusia memandang bahwa memiliki sesuatu merupakan pembawaan naluriah manusia, itu adalah hak alami, hak kodrati atau hak asasi manusia yang wajib dihormati dan dilindungi (Kumalasari, 2009).

Perkembangan ilmu pengetahuan seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia, selain itu juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan negara.  Dengan kemampuan intelektual yang digunakan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan yang melibatkan tenaga, waktu dan dana, manusia menghasilkan karya-karya intelektual yang mempunyai nilai dan manfaat ekonomi.

Harta kekayaan adalah suatu hal yang harus mendapatkan perlindungan, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum yang berlaku pada suatu tempat (Hukum Positif) (Magun Pikahulan, 2020). Sepintas ada anggapan bahwa yang dimaksud harta kekayaan adalah terbatas pada sesuatu benda yang kongkret yang dimiliki oleh seseorang. Akan tetapi sebenarnya harta dalam hal ini adalah termasuk juga seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang yang bisa menjadi sumber manfaat sekalipun wujudnya non-material.  Contoh  mengenai  hal  ini  adalah  secara  umum  yang  dapat  berwujud  karya  cipta  dalam  berbagai  bidang (Sulasno, 2019).

Sri Redjeki Hartono (2007) juga mengemukakan bahwa hak kekayaan intelektual pada hakikatnya merupakan hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara.  Negara berdasarkan ketentuan undang-undang, memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak, sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Berbicara mengenai harta kekayaan, maka ada dua masalah yang selalu dikemukakan, yaitu masalah kegunaan dan masalah keteraturan.  Nilai kegunaan termasuk ke dalam lingkup ekonomi, sedangkan keteraturan masuk dalam ruang lingkup ilmu hukum (Abdulkadir Muhammad, 1994, p. 5). Dua aspek ini selalu berkaitan satu sama lainnya.  Artinya, pembahasan mengenai harta kekayaan tidak lepas dari masalah kegunaan dan masalah kaidah yang menjadi pedoman bagaimana seharusnya orang berbuat untuk memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan.

Oleh karena itu apabila seseorang ingin hak kekayaan intelektualnya itu mendapat perlakuan khusus atau tepatnya dilindungi oleh hukum harus mengikuti prosedur tertentu yang ditetapkan oleh negara. Prosedur yang dilakukan di sini adalah pendaftaran hak kekayaan intelektual di tempat yang telah ditentukan oleh undang-undang (Hartono, 2007, p. 2). Perlunya melakukan pendaftaran tersebut mengingat, di era globalisasi ini arus informasi datang begitu cepat bahkan hampir tidak ada batas antar negara, sehingga tidaklah mengherankan apabila hak kekayaan intelektual merupakan salah satu objek bisnis yang cukup diminati oleh seluruh pelaku bisnis, karena dianggap dapat mendatangkan keuntungan ketimbang harus memulai dari nol (Undang-Undang (UU) Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 1999).

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mencakup beberapa bidang yaitu; Bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang memunculkan hak cipta, contoh:  buku, makalah, lukisan, lagu, film, puisi, dan koreografi. Bidang teknologi dan industri yang selanjutnya memunculkan hak paten.  Contoh: invensi di bidang peralatan elektronik, mesin diesel, Televisi. Bidang yang berkaitan dengan label atau tanda identitas suatu barang atau jasa.  Bidang ini memunculkan hak merek. Bidang yang berkaitan dengan penampilan luar produk agar tampak estetik dan nyaman.  Bidang ini memunculkan hak desain industri. Bidang yang berkaitan dengan tata letak desain semi konduktor.  Bidang ini memunculkan hak desain tata letak desain sirkuit terpadu. Bidang yang berkaitan dengan sifat kerahasiaan informasi teknologi dan bisnis, yang selanjutnya memunculkan hak rahasia dagang.

Dewasa ini permasalahan milik intelektual menjadi sorotan dan bahan kajian yang mendapat perhatian dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional. Masalahnya adalah bahwa milik intelektual tidak semata-mata berkaitan dengan hukum saja, melainkan erat hubungannya dengan masalah perdagangan, ekonomi, pengembangan teknologi serta menjadi landasan bagi usaha untuk memajukan sosio-kultural bangsa dan masyarakat pada umumnya (Budi Agus Riswandi & Syamsudin, 2004).

Perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam pada periode modern telah mengundang sejumlah masalah serius berkaitan dengan hukum Islam, tetapi metode yang dikembangkan para pembaharu dalam menjawab permasalahan tersebut terlihat belum memuaskan. Salah satu konsep penting kajian hukum Islam adalah Maqashid al-Syari’ah yaitu tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. karena begitu pentingnya Maqashid al-Syari’ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan Maqashid al-Syari’ah sebagai salah satu kriteria (di samping salah satu kriteria lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Begitu juga dalam pengkajian hak cipta yang dalam hukum Islam diakui sebagai harta kekayaan tidak berwujud dan juga sesuai dengan Maqashid al-Syari’ah (tujuan dari hukum Islam) yang bertumpu pada pemeliharaan lima hal yang penting yang berdasarkan skala prioritas, berurutan sebagai berikut, memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.

Maka proteksi terhadap karya cipta khususnya hak atas kekayaan intelektual adalah termasuk dari pada Maqashid al-Syari’ah (tujuan diberlakukannya hukum Islam) yang dalam prioritas ini masuk dalam hal memelihara harta (Huda, 2020; Triana, 2018).

Persoalan Hak atas Kekayaan Intelektual belum mendapatkan pembahasan atau bahkan belum tergambar oleh ulama fiqh klasik secara mendalam dan tuntas. Akan tetapi dasar-dasar mengenai hak atas kekayaan intelektual sangat mungkin untuk dilacak dari wacana yang mereka kembangkan dalam tema mengenai benda (Huda, 2020). Kajian mereka dapat dikatakan terpencar-pencar. Ada sebuah pembahasan mengenai hak dibawah judul “Kitab al-Istihqaq” dalam bidayat al-Mujtahid yang sedikit menyinggung tentang hak milik, dimana disebutkan bahwa harta dihasilkan dari pembelian, dan kepemilikan itu dapat berubah-ubah, baik bertambah atau berkurang (Huda, 2020).

Tarmidzi (2018) menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak adabi dan dapat dikategorikan benda manqul (bergerak) yang tidak berbentuk (tak berwujud), disebut setelah lahir dari pikiran manusia, menjelma berwujud menjadi ciptaan, baik dalam bidang kesusasteraan, ilmu-ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain-lain yang setelah diperbanyak dapat mendatangkan nilai ekonomi tinggi (benda mutaqawim). Oleh karena itu, maka Hak Cipta diambil manfaatnya, diwariskan dan diperjual belikan, sehingga secara nyata dan positif Hak Cipta dipandang sebagai benda harta (mal).

Agus Suryana (2017) dengan menggunakan riset kepustakaan (library research) yang berupaya menjawab persoalan bagaimana sebenarnya Hak Cipta dalam tinjauan Syariah Islam, apakah Islam mengakui adanya hak cipta, serta bagaimana prinsip Islam dalam melindungi hak cipta. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam khazanah hukum Islam hak cipta dikenal dengan istilah Haq Al-Ibtikar yaitu hak atas suatu ciptaan yang pertama kali dibuat. Islam hanya mengakui dan melindungi karya cipta yang selaras dengan norma dan nilai yang ada di dalamnya. Jika karya cipta tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka ia tidak diakui sebagai "karya cipta" bahkan tidak ada bentuk perlindungan apapun untuk jenis karya tersebut. Perlindungan terhadap hak cipta dalam Islam memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu karya cipta dapat diakui sebagai hak kepemilikan atas harta, yaitu: a) tidak mengandung unsur-unsur haram di dalamnya, b). Tidak menimbulkan kerusakan di masyarakat, c) tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum. Hak cipta sebagai sebuah hak kepemilikan atas suatu manfaat akan
berakhir ketika pemiliknya melakukan akad (transaksi), baik akad yang bersifat
tabaru' (sosial) ataupun akan tijary (perdagangan).

Arvie Johan (2012) membahas mengenai Lisensi Haki Dalam Kaidah Normatif Anti Monopoli. Dalam tulisan ini berisikan tentang suatu legalitas monopoli yang diberikan pemerintah kepada segelintir orang melalui undang-undang Hak Cipta.

Sebagai tindak lanjut atas riset di atas, artikel ini membahas masalah hak cipta yang meliputi lamanya waktu perlindungan hak ekonomi suatu ciptaan, sehingga karena waktu yang lama itu rentan sekali suatu ciptaan itu di monopoli oleh segelintir orang saja sehingga dapat menghambat Transfer Of Knowledge, dan membuat mahalnya harga suatu produk yang diciptakan oleh seseorang. Tujuan dari dilakukan penulisan ini adalah untuk mencoba mencarikan jalan keluar agar mengurangi monopoli dari suatu ciptaan.

METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan pendekatan yuridis – normative dalam kajian fiqh. Pendekatan yurirdis dengan mengaji aturan-aturan hukum dan pendekatan normative dalam kajian hukum islam digunakan dalam menganalisis permasalahan yang dibahas dalam penulisan. Selain itu, riset ini juga menggunakan pendekatan komparatif yang difokuskan pada perbandingan hukum hak cipta dalam fiqh dan Undang-Undang Hak Cipta.

PEMBAHASAN

1.1 Hak Cipta dan Perlindungan Hukumnya Menurut Undang-Undang Hak Cipta

1.1.1 Hak Milik, Hak Kekayaan Intelektual dan Hubungannya Dengan Hak Cipta

Dalam kerangka hukum perdata, hak milik intelektual termasuk ke dalam hukum harta kekayaan, khususnya hukum benda (zakenrecht) yang mempunyai objek benda intelektual, yaitu benda (zaak) tidak berwujud. Dengan demikian, ciptaan (original expression of an idea) dan penemuan (invention) sebagai hasil usaha penciptaan dan pemikiran merupakan esensi dari milik intelektual (Adisumarto , 1989). Pembahasan mengenai hak kekayaan intelektual selalu berkaitan dengan sastra, seni, ilmu pengetahuan, paten dan merek.

Batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUHPerdata yang mengatakan menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik (Adisumarto , 1989, p. 157). Sedangkan menurut Mahadi barang yang dimaksudkan pasal 499 KUHPerdata adalah benda materiil, dimana benda adalah hak imateriil. Hal senada disampaikan oleh Abdul Kadir Muhammad bahwa pengertian benda meliputi barang dan hak, dimana barang barang adalah benda materiil yang berwujud, sedangkan hak adalah benda imaterial yang tidak berwujud. Hal ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUHPerdata, yaitu penggolaongan benda kedalam kelompok benda berwujud dan benda tidak berwujud. Benda imaterial termasuk hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual, dan lain sebagainya (Abdulkadir Muhammad, 1994, p. 8).

1.1.2 Hak-hak Terkandung dalam Hak Cipta

Hak cipta merupakan hak khusus (eksklusif) yang diberikan negara hanya kepada pencipta atau penerima hak cipta, bukan kepada yang lain. Hak eksklusif ini disertai dengan hak monopoli terhadap ciptaannya yang dilindungi. Tetapi kekuasaan monopoli atau kekuasaan istimewa tersebut bukan tanpa batas (mutlak) pada regulasi hak cipta terdapat pengecualian-pengecualian tertentu yang juga diatur dan diterapkan guna kepentingan bangsa dan negara serta menghindari praktik monopoli dan persaingan curang seperti yang diamanatkan oleh undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Djumhana dan Djubaedillah (2014) mengklasifikasikan hak ekonomi itu lebih terinci lagi meliputi dibawah ini:

a.    Hak reproduksi atau penggandaan (reproduction right)

b.    Hak adaptasi (adaptation right)

c.     Hak distribusi (distribution right)

d.    Hak pertunjukkan (public performance right)

e.    Hak penyiaran (broadcasting right)

f.     Hak program kabel (cablecasting right)

g.     Hak yang mengikuti (droit de suit)

h.    Hak pinjam masyarakat (publik lending right)

Semua hak diatas, kecuali hak pinjam masyarakat (public lending right) sudah ditampung pengaturannya di dalam undang-undang hak cipta dan konvensi berne. Sementara yang dimaksud dengan hak pinjam masyarakat adalah hak ekonomi yang diberikan pencipta kepada perpustakaan dan pusat informasi. Apabila hak pinjam masyarakat ini diakui pengaturannya, maka perpustakaan dan pusat informasi atau pemerintah harus membayar sejumlah uang sebagai royalti kepada penulis buku yang bukunya dipinjamkan kepada masyarakat (pembaca). Di Inggris hal ini diatur secara khusus di dalam undang-undang tersendiri, tujuannya untuk memotivasi perkembangan budaya menulis atau budaya berkreasi di dalam masyarakat (Djumhana & Djubaedillah, 2014).

1.1.3 Sejarah perlindungan Hak Cipta di Indonesia

Perlindungan hak cipta di tingkat internasional di mulai kira-kira pertengahan abad ke-19 atas dasar perjanjian bilateral. Beberapa perjanjian internasional yang saling mengakui hak-hak bersangkutan disetujui tetapi belum memberikan bentuk yang seragam.

Kebutuhan akan peraturan yang seragam menghasilkan disetujuinya tanggal 9 september 1886 berne convention for the protection of literary an artistic works. Berne convention adalah perjanjian internasional yang tertua di bidang hak cipta dan terbuka bagi semua negara untuk diratifikasi. Instrumen accession dan ratifikasi deposit pada Direktur Jendral World Intellectual Property Organization (WIPO). Indonesia dengan keputusan presiden no. 18 tahun 1997 mengesahkan Berne Convention dengan reservation (persyaratan) atas pasal 33 ayat (1) (pasal 1 keppres No. 18/1997).

Indonesia pada masa dibawah pemerintah kolonial belanda, telah menerapkan undang-undang Hak Pengarang (author right) atau yang lebih dikenal dengan auteurswet 1912 staatsblad nomor 600 tahun 1912. Setelah masa kemerdekaan, pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan indonesia keluar dari konvensi Bern agar para intelektual indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, pemerintah indonesia menetapkan undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 1987, undang-undang nomor 12 tahun 1997, dan pada akhirnya dengan undang-undang nomor 19 tahun 2002 yang kini berlaku (Djumhana & Djubaedillah, 2014, p. 32).

1.2 Perlindungan Hak Cipta dalam Pandangan Hukum Islam

Mengaji masalah hak cipta dalam tinjauan hukum Islam, harus dimulai dari pandangan Islam terhadap haq itu sendiri. Ketentuan mengenai hak cipta tidak terlepas dari konsep hak (nazriyyat al-huquq), konsep kebendaan (nazriyyat al-amaliyah), konsep kepemilikan (nazriyyat al-milkiyyah), dan selanjutnya tidak terlepas dari kaidah umum mengenai muamalat, sedangkan kaidah mengenai muamalat harus berpedoman kepada asas-asas hukum Islam. setiap ajaran Islam, tentu mengajarkan prinsip-prinsip peri kehidupan seperti prinsip keadilan (al’adalah), kemanfaatan (al-manfaah), keujujuran (al-shiddiqah), saling kerjasama (at-ta’awun), kesetaraan (al-musawah), dan proporsional (al-wasath).

Perlindungan hak cipta sebagai bagian dari perlindungan hak pada umumnya mengikuti asas-asas hukum Islam di bidang muamalat yaitu :(Sahuri, 2000, p. hlm. 89)

1.2.1 Memberikan Hak kepada yang Berhak

Suatu hak harus dipenuhi dengan mengikuti aturan yang telah di tentukan oleh Allah. Misalnya, zakat harus dikeluarkan oleh mereka yang berkewajiban yaitu orang kaya dan para wajib zakat dan selanjutnya disalurkan kepada yang berhak yaitu kelompok fakir, miskin, musafir dan sebagainya (mustahiq) sesuai ketentuan yang ditetapkan. Demikian pula hutang harus dibayar oleh orang yang berhak, sesuai waktu dan ketentuan yang ditetapkan.

Dalam urusan keluarga pun, hak istri untuk menerima nafkah dari suaminya harus ditepati dan ditunaikan oleh si suami. Namun jika si istri telah merelakan haknya karena suatu hal yang sah, maka tidak ada pelanggaran terhadap hak tersebut. Begitu juga dengan urusan maskawin, jika setelah diberikan oleh calon suami, lalu setelah hidup berkeluarga dikembalikan lagi oleh pihak istri, maka berarti tidak ada pelanggaran hak.(Jika Istri Menyerahkan Kembali Harta Mahar Kepada Suami, Maka Halal Bagi Suami Untuk Memiliki Harta Itu Kembali. Sebagaimana Ditegaskan Dalam Surat an-Nisa (4).

Bila jalur kesadaran dan taradli tidak mampu mengembalikan hak kepada pemiliknya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga yang berhak pula, yaitu pengadilan. Ini untuk menjaga agar dalam memberikan hak kepada yang berhak tetap bermuara pada nilai-nilai keadilan, pihak yang menolak memberikan hak kepada yang berhak, diancam hukuman sesuai besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

1.2.2 Melindungi setiap hak

Syariat Islam memberikan perlindungan kepada hak dari segala bentuk penganiayaan, kecurangan, penyalahgunaan dan perampasan. Di sini perlindungan yang diberikan, pertama: berupa perlindungan moral, seperti melindungi hak kepemilikan harta melalui ketentuan keharaman Mencuri, melindungi hak memelihara keturunan (nasab) melalui ketentuan keharaman berzina, melindungi hak berusaha stabilitas ekonomi melalui ketentuan keharaman berzina, melindungi hak berusaha stabilitas ekonomi melalui keharaman bertransaksi mengandung riba dan merugikan masyarakat. Kedua adalah perlindungan hukum bagi setiap orang yang berhak namun di zalimi oleh mengangkat masalahnya ke pengadilan untuk mendapatkan kembali haknya (Ali, 2016).

1.3 Jangka waktu perlindungan Hak Cipta dalam perspektif hukum Islam

Ketentuan jangka waktu perlindungan hak cipta menurut hukum Islam tidak diketemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Di dalam mengaji permasalahan perlindungan hak cipta menurut hukum Islam, dapat dilakukan dengan jalan menggunakan metode ijtihad yang lazim di gunakan oleh para ulama mujtahid masa lalu. Metode yang lazim dan paling praktis digunakan dalam menggali hukum masalah-masalah yang baru yang belum ada dalilnya adalah dengan qiyas, ‘urf, dan istislah. Metode ini banyak berperan dalam penggalian hukum (istinbath). Dalam pemakaian ini tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria serta syarat rukunnya.

Ilmu dan pengetahuan serta seni kehidupan pada mulanya adalah karunia ilahi yang sekaligus menjadi hak setiap orang untuk bisa mengaksesnya. Sangat tidak bijaksana jika pencipta/ pengarang terlalu lama (seumur hidupnya) mengomersilkannya. Itu berarti dia menghalangi orang lain dari memperoleh ilmu dan pengetahuan dari ciptaannya secara Cuma-Cuma, sehingga orang lain terhambat dari memperoleh buku secara mudah dan murah sesuai dengan kemampuannya. Pihak-pihak yang terlalu lama menghalang-halangi tersebut setidaknya telah mengurangi hak orang lain untuk memperoleh kemudahan mencari ilmu. Sekedar membandingkan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda dalam menjajah bangsa Indonesia sangat menghendaki agar bangsa Indonesia tidak mengenyam pendidikan. Hal itu ditempuh karena mereka menghendaki bangsa Indonesia tumpul intelektualnya sehingga tidak menuntut hak kemerdekaannya. Oleh karena itu pemerintah hindia belanda menghalang-halangi dari memperoleh sarana yang mengisi akal intektualitasnya dengan cara menghalang-halangi bersekolah dan memperoleh buku. Penjajah menghendaki melenggangkan penjajahan sehingga berusaha menjajah akal pikir negeri jajahannya. Kondisi semacam ini mirip dengan upaya kaum arab jahiliyah yang menghalang-halangi kaum wanita dari memperoleh ilmu dan pengetahuan agar memudahkan mereka dalam menindasnya. bertentangan Setelah Nabi Muhammad datang dengan membawa ajaran agama Islam, maka berangsur-angsur harkat martabat dan derajat kaum wanita diangkat dengan jalan diantaranya mewajibkan menuntut ilmu sebagaimana diwajibkan kepada kaum laki-laki.

Ini hanyalah menggambarkan betapa besar perhatian syariat Islam Dalam upaya menjaga akal. Segala hal-hal yang menghalang-halangi terjaga akal merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.(Mengenai Larangan Menghalang-Halangi Orang Lain Dari Akses Informasi Dan Pengetahuan, Allah Telah Menyatakan Dalam Beberapa Ayat Diantarnya Dalam Surat an-Nisa (168) Yang Artinya: “Sesungguhnya Orang Yang Kafir Dan Menghalang-Halangi (Manusia) Dari Kebenaran, Benar-Benar Telah Sesat Sejauh-Jauhnya,” pemberian perlindungan hak monopoli dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan semakin mahalnya produk dan bernuansa komersial ciptaannya. Hal tersebutlah mungkin yang membuat Undang-Undang Hak Cipta kurang berlaku efektif di Indonesia serta memunculkan kelompok masyarakat yang bersikap anti Hak Cipta. Alasan mereka cukup sederhana dan rasional, yaitu karena komersialisasi pendidikan dan termasuk komersialisasi buku-buku dalam jangka waktu yang lama dan secara berlebihan sungguh akan memberatkan negara-negara berkembang. Bila demikian yang terjadi, ini berarti sedang diselenggarakan penjajahan model baru (neo kolonialisme). Sudah menjadi kewajaran bila negara-negara berkembang sementara ini mempunyai intelektual yang lebih rendah dibanding dengan negara-negara maju, karena sebagian besar negara berkembang adalah negara yang dulunya terjajah, sedangkan kebanyakan negara maju adalah negara yang dulunya sebagai penjajah. Jadi, untuk bisa mengejar ketertinggalan, maka negara-negara berkembang harus diberi kelonggaran (toleransi) dalam mengakses ilmu dan pengetahuan karya cipta mereka.[1]

Ini bukan berarti membenarkan kegiatan anti hak cipta, namun kami mengamati bahwa agenda syariat untuk menciptakan manusia cerdas dan terjaga akalnya perlu didukung dengan cara membantu para pihak yang membutuhkan transfer of knowledge, melalui pengurangan jangka waktu perlindungan atas hak ekonomi dalam hak cipta suatu ciptaan. Seandainya memang perlu diberikan hak ekonomi kepada pencipta, sebaiknya tidak lebih dari 30 tahun, dimana ukuran itu merupakan ukuran daluwarsa yang berlaku di Indonesia, atau diseimbangkan dengan jangka waktu perlindungan bidang HKI lainnya semacam (hak paten, dan merek) yang tidak lebih dari 30 tahun juga. Jika pun memungut royalti sebagai ongkos ganti barang karya cipta, maka selayaknya disesuaikan dengan kemampuan kebanyakan masyarakat.

Sebagai agama yang bersikap wasathan (tengah-tengah),(Ajaran Islam Adalah Ajaran Yang Bersifat Tengah-Tengah, Artinya Tidak Terlalu Keras, Namun Tidak Pula Terlalu Lembek. Hukum Islam sebagai Penyempurna Hukum Agama-Agama Samawi Sebetulnya, Bukan Seperti Hukum Agama Yahudi Yang Cukup Keras, Dan Bukan Pula Seperti Agama Nasrani Yang Cukup Pemaaf Dan Mengedepankan Kasih Sayang. Hukum Islam Mengajarkan Asas Proporsional, Yang Dalam Bahas al-Qur’an Disebut Dengan Tawasuth. Ajaran Islam berkehendak agar terpelihara kepentingan umat manusia secara proporsional. Misalnya terhadap isu perlindungan hak cipta, maka sesungguhnya ajaran agama Islam terlalu berkeinginan mengekang hak masyarakat untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan dengan mudah dan murah. Itulah yang dimaksudkan dengan upaya menjaga akal. Di sisi lain, agama Islam juga sangat menghargai jerih payah pencipta atas karya ciptaannya itu sehingga sangat memberikan penghargaan dengan memberikan hak kepada penciptanya untuk memiliki dan mengambil manfaat sebesar-besarnya atas ciptaannya itu. Bahkan agama Islam mengakui bahwa guna terciptanya ciptaan itu telah menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu dimana hak tersebut bisa disebut sebagai investasi yang diharapkan keuntungan. Syariat Islam sangat melindungi agar harta tersebut tidak dicuri atau diambil oleh sembarangan orang secara melawan hukum.

Menghadapi dua kepentingan tersebut, agama Islam mengakomodasi dua kepentingan tersebut secara proporsional, dimana memberikan jangka waktu perlindungan hak ekonomi (hak cipta) disesuaikan dengan kebutuhan negara masing-masing. Syariat Islam Memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan dengan menggunakan suatu karya cipta seimbang dengan pemberian kebebasan kepada pencipta untuk memungut royalti atas ciptaannya itu. Mengenai hak moral, telah disepakati bahwa hak tersebut melekat pada hak penciptanya. Bentuk penghormatan itu misalnya dengan meminta izin menggunakan ciptaannya, atau dengan mencantumkan nama pengarang pada kutipan. Dengan ketentuan demikian, maka pihak negara dapat mengatur dan mengupayakan buku-buku dan sarana pendidikan serta ciptaan lain nya dengan harga terjangkau (tanpa mengorbankan mutu) meskipun ada aturan perlindungan hak cipta.

Dalam hadis nabi muhammad disebutkan bahwa manusia diperintahkan untuk memaksimalkan amal ketika pada lima kondisi sebelum datangnya lima kondisi sebaliknya. Hadis tersebut menegaskan yang pada pokoknya berarti: “pergunakan lah lima hal sebelum datang lima hal, yaitu manfaatkan lah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sempatmu sebelum datang masa sempitmu, dan masa hidupmu sebelum datang masa kematianmu.” (HR. Ahmad)

Pesan moral yang terkandung dalam hadis tersebut adalah bahwa berbuat baik (termasuk beramal sosial) janganlah ditunda-tunda sampai waktu yang sangat lama hingga mendekati masa “daluarsa” hadis tersebut secara jelas menggambarkan bahwa beramal pada masa muda, sehat, sempat, kaya dan hidup akan lebih mampu mempersembahkan prestasi dan manfaat yang lebih ketika masih mempunyai kemampuan dan prestasi yang lebih penuh dan sempurna dibandingkan bila sudah tua, sakit, sibuk, miskin dan meninggal dunia. Oleh karena itulah pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk turut menggunakan suatu ciptaan secara Cuma-Cuma, akan lebih terasa manfaatnya ketika si penciptanya masih hidup. Jadi menurut kami, pemberian hak perlindungan ekonomi pada hak cipta dalam jangka waktu selama seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun sesudahnya, sangat potensial menimbulkan monopoli yang justru dilarang oleh hukum. Pihak negara dalam regulasi harus menyesuaikan masa perlindungan tersebut dengan tingkat kemampuan masyarakat sehingga nantinya regulasi tersebut didukung dan dipatuhi oleh kebanyakan masyarakat.

KESIMPULAN

Dari hasil uraian pembahasan penulisan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta menurut hukum Islam, untuk jenis hak moral berlaku selamanya, sedangkan untuk jenis hak ekonominya berlaku secara taradli (kerelaan hati) dengan ketentuan semakin singkat (secara wajar) adalah semakin baik sepanjang tidak merugikan pihak pencipta. Negara dapat menentukkan jangka waktu perlindungan hak cipta melalui regulasinya disesuaikan dengan kemampuan negaranya. Sebagai contoh negara Indonesia dapat memberlakukan jangka waktu antara 20 tahun sampai 30 tahun dimana batas maksimal tersebut adalah jangka waktu daluwarsa dalam sistem hukum perdatanya.

Syariat Islam memerintahkan berinfaq dari setiap hak milik dan harta sedini mungkin, tanpa menunda-nunda karena dikhawatirkan akan sampai pada suatu masa dimana manfaat harta yang diinfaqkan menjadi sangat berkurang nilai manfaatnya. Lebih cepat menjadikan hak cipta menjadi public domain adalah lebih baik karena nilai manfaat ciptaan masih besar. Jadi, jangka waktu perlindungan hak ekonomi (pada hak cipta) seimbang antara kepentingan masyarakat pencipta dengan kebutuhan suatu negara masing-masing.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdulkadir Muhammad. (1994). Hukum Harta Kekayaan. Citra Aditya Bakti.

Adisumarto , H. (1989). Hak milik intelektual khususuya paten dan merek hak milik perindustrian (industrial property). Akademika Pressindo.

Ali, M. (2016). Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah dan Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri Halal. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 16(2). https://doi.org/10.15408/ajis.v16i2.4459

Budi Agus Riswandi, & Syamsudin, M. (2004). Hak kekayaan intelektual dan budaya hukum. Divisi Buku Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada.

Djumhana, M., & Djubaedillah, R. (2014). Hak milik intelektual: sejarah, teori dan praktiknya di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/../index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&mod=b&cat=3&id=56449

Hartono, S. R. (2007). Hukum Ekonomi Indonesia. Bayumedia Publishing.

Huda, M. (2020). Konsep dan Kedudukan Hak Kekayaan Intelektual dalam Hukum Islam. Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, 1(1).

Johan, A. (2012). Lisensi Haki Dalam Kaedah Normatif Anti Monopoli. Jurnal Ilmu Hukum, 15(2). http://hdl.handle.net/11617/4009

Kumalasari, N. (2009). Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Era Globalisasi. Qiestie, 3(3).

Magun Pikahulan, R. (2020). Konsep Yuridis Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Harta Benda Wakaf. Al-Mizan, 16(2). https://doi.org/10.30603/am.v16i2.1809

Undang-undang (UU) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pub. L. No. LN. 1999/ No. 33, TLN NO. 3817, LL SETNEG : 29 HLM (1999).

Sulasno, S. (2019). LISENSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA. ADIL: Jurnal Hukum, 3(2). https://doi.org/10.33476/ajl.v3i2.815

Suryana, A. (2017). Hak Cipta Perspektif Hukum Islam. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan …, 19.

Tarmidzi, M. (2018). Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014  dalam Prespektif Ekonomi Hukum Ekonomi Islam. JURNAL HUKUM ISLAM; Volume 15, Nomor 2, Desember 2017DO  - 10.28918/Jhi.V15i2.1022 . http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/1022

Triana, N. (2018). Menggagas Hak Kekayaan Intelektual Perspektif Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 12(2). https://doi.org/10.24090/mnh.v12i2.1747

Utomo, T. S. (2010). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global : Sebuah Kajian Kontemporer. In Buku.

 

Copyright (c) 2021 Achmad Baihaqi, Said abadi

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

 



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia