OPTIMALISASI PERAN PENDAMPING DESA DALAM PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

(Studi Kasus di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor)

 

Agustiar Rivaldi

Institut Pemerintahan Dalam Negeri

Email: agustiar.rivaldi@yahoo.com

 

Abstract: The presence of Village Facilitators is a demand for Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Permendes No. 3 of 2015 concerning Village Assistance. Five years of the village fund and village assistance program have been running, but there are still problems in the field. The purpose of this study was to assess the research to determine the role of village facilitators in the development and empowerment of rural communities. This research is a qualitative study with a field approach. This research is located in villages in Klapanunggal District, Bogor Regency. The author uses data collection techniques in the form of interviews, documentation, and observation. The study results concluded that village facilitators were able to improve the accountability and transparency aspects of village government. Supervision and community participation as the subject and object of development and empowerment over the last five years, in general, have shown their existence towards a change in a healthy and independent village government system. However, the problem of not optimal assistance still occurs both at the central and regional government levels and at the village level.

 

Keywords; Community, Development and Empowerment, Village Facilitator.

 

PENDAHULUAN

Diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014, menegaskan komitmen politik  dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk, sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menurut masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (Solekhan, 2014). Pengaturan desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan desa dalam merespon proses modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya  (Putri, 2016).

Salah satu wujud konkritnya adalah dengan diharuskannya pembentukan pendamping desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Terbentuknya pendamping desa merupakan hasil dari reformasi sebagai upaya dari perwujudan demokrasi di tingkat desa (Suharto, 2020). Pendamping desa mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pemerintahan desa yaitu menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pembangunan kawasan pedesaan secara partisipatif serta peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sehingga menjadi tumpuan harapan masyarakat terhadap program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan desa sendiri.

Pendampingan desa bukanlah mendampingi pelaksanaan proyek yang masuk ke desa saja, bukan pula mendampingi dan mengawasi penggunaan dana desa saja, tetapi melakukan pendampingan secara utuh terhadap desa. Pendampingan Desa ini diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pendampingan Masyarakat Desa. Pendampingan Masyarakat Desa ini dilaksanakan agar adanya pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan di desa dapat tercapai dengan cepat. Sehingga fasilitasi pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pembinaan masyarakat desa perlu dilakukan untuk mendorong penggunaan dana desa.

Mengacu pada ketentuan di atas yang dikaitkan pada kondisi pendampingan desa di Kab. Bogor khususnya di Kecamatan Klapanunggal, terdapat 1 orang Pendamping Lokal Desa, 2 orang Pendamping Desa yang berkedudukan di Kecamatan Klapanunggal dan 1 orang Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat yang berkedudukan di Kabupaten yang membawahi seluruh desa di Kec. Klapanunggal. Konsep idealnya adalah satu desa satu pendamping lokal desa agar bisa optimal, namun memang dari ketentuan rekrutmen pendamping lokal desa yang ada mengatur bahwa satu pendamping lokal desa (PLD) harus mendampingi minimal 4 desa, jadi total PLD yang ada di kecamatan Klapanunggal ada 1 orang dengan Pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan sebanyak 2 orang yang harus membina dan mendampingi 9 Desa yang ada. Hal ini terjadi dikarenakan keterbatasan anggaran dekonsentrasi (APBN) yang ada untuk menggaji tenaga pendamping profesional. Keterbatasan kemampuan fisik pendamping desa dalam melakukan kegiatan pendampingan menjadi salah satu penghambat. Susanti (2017) kendala yang dihadapi oleh pendamping desa dalam mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat menuju desa mandiri, yaitu 1) Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; 2) jumlah tenaga pendamping desa; 3) kekosongan jabatan kepala desa

Penelitian Susanti (2015) menyatakan pendampingan desa dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infastruktur pedesaan di desa Sekodi ini di rasa kurang efektif, hal ini karena pengetahuan masyarakat yang masih kurag tahu tentang keberadaan pendamping desa dan partisipasi masyarakat yang kurang aktif. Sulistyani dan Wulandari (2017) memaparkan bahwa Intensitas pendidikan, konsultasi, dan pendampingan telah menghasilkan peningkatan kapasitas KPSM. Program rintisan di bidang lingkungan dan pengelolaan sampah rumah tangga merupakan pembuka dari pengembangan masyarakat. Dalam Studi berjudul (“Dinamika Proses Perumusan Kebijakan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Di Desa Pakkat Hauagong Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hsundutan),” 2012) menunjukkan bagaimana peran pendamping desa dalam mengoptimalisasikan pembangunan desa, serta rekrutmen tenaga pendamping desa, dan mengkaji pada hambatan dan upaya apa yang dilakukan pendamping desa dalam mengoptimalisasikan pembangunan desa berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa. Persoalan yang muncul dari perspektif aspek kuantitas di Kabupaten Bogor khususnya di Kec. Klapanunggal berupa keterbatasan kemampuan fisik tenaga pendamping desa profesional dalam melakukan pelayanan (pendampingan) dengan jumlah empat sampai sembilan desa. Keterbatasan fisik ini menjadikan kinerja pendamping desa kurang optimal, sehingga perlu adanya evaluasi lebih lanjut tentang efektivitas pendampingan desa di Kec. Klapanunggal

METODE

Penelitian ini adalah adalah penelitian lapangan atau “field research” yang dilakukan di desa-desa di wilayah Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan informan sebagai sumber data primer dan dokumen-dokumen, arsip-arsip serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian sebagai data sekunder.

Teknik sampel yang digunakan oleh peneliti adalah purposive sampling dimana informan yang dipilih adalah orang yang ahli di bidangnya dan terkait langsung dengan program pembangunan dan pemberdayaan desa. Berikut informannya:

Tabel 2.  Informan

No

Informan

Kode

Jumlah

1

2

3

4

1.

Camat Klapanunggal

I.1

1 Orang

2.

Kasi Pemberdayaan. Kec. Klapanunggal

I.2

1 Orang

3.

Kepala Desa se Kec. Klapanunggal

I.3

9 Orang

4.

Pendamping Desa Pemberdayaan

I.4

1 Orang

5.

Pendamping Desa Infrastruktur

I.5

1 Orang

6.

Pendamping Lokal Desa (PLD)

I.6

1 Orang

7.

Perwakilan Masyarakat Kec. Klapanunggal

I.7

6 Orang

Sumber : Data primer, 2020

 

Pada penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dengan menggunakan beberapa teknik sebagai berikut Wawancara, Observasi, Dokumentasi. Adapun data yang didapatkan peneliti antara lain adalah peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan hasil wawancara dengan informan di atas.

PEMBAHASAN

1.1 Peran Pendamping Desa Dalam Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Dalam pemerintahan yang baik hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat, yang berarti bahwa adanya hubungan yang kompleks antara tiga elemen tersebut (Rahmanurrasjid, 2008). Sama halnya dengan kebijakan adanya program pendamping desa, jadi antara pemerintah desa, pendamping desa, serta masyarakat membutuhkan kerjasama yang baik. Oleh sebab itu ketiganya harus berjalan secara sinergis dalam mewujudkan tujuan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menginginkan peningkatan pendamping desa dalam menjalankan peran dan fungsinya, dapat melakukan proses studi atau kajian secara berkesinambungan dengan sesama pendamping sebagai tim kerja (team work) supaya lebih terbantu dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan, potensi sumber daya dan prospek pembangunan di desa. Kajian dilakukan untuk menjalin kedekatan atau memastikan tidak ada jarak antara pendamping desa dengan masyarakat. Pendamping desa dapat melaksanakan kajian atau diskusi dengan teman sejawat, kolega, tokoh masyarakat, pemerintah desa, praktisi dan ahli untuk membahas permasalahan dan potensi yang ditemukan, hingga menyepakati serta menghasilkan program pemberdayaan masyarakat.

Hasil dari studi kajian adalah pendamping desa telah dapat diterima, berbaur dan bagian dari masyarakat desa, kemudian dapat menjalin hubungan dengan berkomunikasi secara terbuka, dialogis dan menghasilkan kesepakatan program pemberdayaan masyarakat yang dapat dilaksanakan secara bersama. Terdapat pengaruh nyata peran pendampingan di desa sebagai fasilitator terhadap pengembangan desa maju. Kemudian pendamping desa memiliki peran strategis untuk memotivasi, membangun kesadaran, ide dan keaktifan partisipasi masyarakat di desa untuk mewujudkan desa yang mandiri atau sebagai pelaku pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilaksanakan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Sesuai pasal 112 Ayat 1 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, Pemerintah, Pemerintah desa, Propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten, atau kota bertugas untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa. Yang artinya bahwa desa haruslah mendapatkan bimbingan, pembinaan, serta pengawasan dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanannya terhadap masyarakat sekaligus memberdayakan masyarakat itu sendiri.

UU Desa ini diyakini sebagai gerbang harapan menuju kehidupan bermasyarakat yang lebih maju. Sebagai dasar hukum bagi keberadaan desa, UU Desa mengontruksi cara pandang baru dalam kehidupan bermasyarakat (pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa). Desa dikukuhkan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus dirinya sendiri dalam arti lainnya dapat dikatakan bahwa saat ini desa membangun yang artinya desa diharapkan mampu mengatur dirinya sendiri.

Pendamping Desa memiliki kedudukan dalam pemerintahan desa dan mempunyai kewenangan dari kementerian. Sehingga mengharuskan seorang pendamping desa untuk menjalankan peran sesuai dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa Pasal 12 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa tugas pendamping desa adalah mendampingi dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Namun pada saat masa awal transisi implementasi program pendampingan desa harus menghadapi problematika mendasar

Sama halnya dengan pemberdayaan dan pembangunan desa yang harus melalui beberapa serangkaian proses pengelolaan yang diantaranya perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atau pemantauan guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik khususnya pada pemerintahan desa.

1.2 Faktor Penghambat Sebagai Tantangan Pendamping Desa Dalam Pelaksanaan Dan Pengawasan Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Pemberdayaan merupakan usaha yang memungkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambil bagian dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib mereka. Dengan demikian, pekerjaan pemberdayaan senantiasa akan menyentuh dua aspek sekaligus, yakni mengusahakan pembukaan ruang bagi gerak bebas masyarakat, dan mengusahakan agar masyarakat menjadi lebih mampu dalam mengaktualisasikan diri.

Dalam pelaksanaan tugas Pendamping Desa untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah melalui perannya mendampingi pemerintah desa, sinergitas program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa juga tidak terlepas dengan yang namanya masalah dan lumrah terjadi di setiap program kerja. Faktor penghambat merupakan hal-hal yang menghambat, rintangan atau penghalang dalam kelancaran pekerjaan yang bersifat negatif bagi kelancaran kegiatan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada informan selama masa penelitian, ada beberapa masalah yang ditemukan yang telah dirangkum dan difokuskan menjadi 6 (enam) permasalahan utama yang terjadi di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat antara lain sebagai berikut:

1.2.1 Kualitas dan Kuantitas Tenaga Pendamping Desa

Berdasarkan wawancara dengan Kasi. Pemberdayaan Kecamatan Klapanunggal serta didapatkan data bahwa ada pengunduran diri PLD:

Dahulu di awal perekrutan, sebelumnya memang ada 2 PLD, akan tetapi karena ada masalah di intern struktur koordinasi pendampingan, akhirnya salah satu PLD mengundurkan diri. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kualitas pendampingan di desa-desa binaan sekecamatan Klapanunggal (Ahmad, 2020).

 

Melihat komposisi dan jumlah desa yang ada sudah dapat dipastikan bahwa akan terjadi ketidakoptimalan dalam melakukan pendampingan, hal ini senada dengan pernyataan pendamping desa pemberdayaan:

Berbicara mengenai standar kebutuhan pendampingan di desa lingkup kecamatan Klapanunggal, sebenarnya masih tidak ideal, kondisi yang ada adalah 9 desa didamping oleh 2 tenaga pendamping desa dan 1 tenaga pendamping lokal desa. Dimana menurut beban kerja yang ada, seharusnya kami mempunyai 3 orang PLD, karena ada 9 desa disini. Jadi akan lebih optimal dalam pendampingannya apabila minimal dari segi kuantitas dapat tercukupi dengan baik (Ahmad, 2020).

 

Kualitas sumber daya manusia selalu tidak akan terlepas dari sebuah pekerja professional. Sehingga sebuah kualitas kerja, haruslah dilibatkan dalam konteks kerja yang merupakan profesi seseorang. Karenanya, tidak mengherankan apabila kualitas sumber daya manusia yang tinggi diharapkan muncul pada kaum professional, hal ini tidak mengherankan karena kaum profesionallah yang memiliki keahlian, organisasi dan kode etik yang memudahkan mereka untuk mengembangkan konsep, tolak ukur, bahkan ukuran yang bisa mereka gunakan untuk menilai dan membentuk citra diri mereka. Oleh sebab itu, perhatian yang lebih besar harus diberikan pada Manajemen SDM itu sendiri

1.2.2 Intervensi Regulasi dan Program Desa

Dalam semangat UU No.6 tahun 2014 tentang Desa pada pasal 112 ayat 4, bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam kerangka implementasi UU Desa, termasuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan pendampingan, dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan. Hal ini berarti pendampingan masyarakat dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa, selain itu juga Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten memiliki kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan dalam proses pendampingan.

Menanggapi fakta yang terjadi terkait minimnya aspirasi yang ditampung dari masyarakat yang tidak diakomodir oleh oknum ketua RT/RW melalui musyawarah tingkat terendah yang ada di desa, makadari itu pendamping Desa infrastruktur Kang Darso mengungkapkan :

Banyak keluhan yang saya terima dari masyarakat desa, terutama mengenai program pembangunan infrastruktur di desa. Karena kewenangan saya bisa intervensi sampai dengan legalisasi dokumen pertanggungjawaban pencairan dana, saya menghimbau kepada seluruh warga desa agar setiap mengajukan usulan pembangunan maupun program pemberdayaan, selain diusulkan kepada pemerintah desa juga harus ditembuskan kepada saya (Mulyanto, 2020).

Dalam penelitian ini ada dua intervensi utama yang dilakukan oleh tenaga pendamping desa kepada pemerintah desa berdasarkan permasalahan di lapangan, yaitu intervensi terhadap produk hukum di desa dan intervensi sinergitas program dari pusat, kabupaten dan masyarakat.

1.2.3 Kurangnya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat bukan hanya melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan di setiap program pemerintah, masyarakat juga dilibatkan dalam mengidentifikasi masalah dan potensi yang dimiliki. Apapun bentuknya, partisipasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan sebelumnya.Hal ini sendan seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Cikahuripan :

Ketika rapat atau musyawarah desa, masih banyak ditemukan aspirasi sepihak bukan dari masyarakat, misal aspirasi yang diusulkan dari ketua RT banyak yang bukan usulan dari masyarakat setempat (Nindya, 2020).

Kemudian dengan berkaca dari masalah keterwakilan usulan masyarakat dalam musyawarah tingkat RT/RW tersebut, pendamping lokal desa menambahkan :

Masih belum ada keterwakilan dari masyarakat miskin dalam forum musrembang atau musdes dikarenakan sikap pesimisme dan minder yang berakibat tidak adanya saluran atau wadah yang mempu mengakomodir kepentingan kaum marjinal tersebut. Terlebih usulan yang dibawa oleh RT dalam musrembang atau musdes masih usulan sepihak oleh ketua RT tersebut tanpa menampung bahkan menggali aspirasi dari masyarakat di wilayah RT setempat (Nindya, 2020).

Kurangnya sikap kritis warga desa terhadap transparansi pengelolaan APBDesa, menjadi hambatan tersendiri bagi pendamping desa dimana masyarakat itu sendiri yang menjadi objek pembangunan seharusnya ikut mengawal anggaran desa sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Solusi dari masalah ini peneliti merekomendasikan solusi untuk mengatasi kendala partisipasi masyarakat pada pengelolaan APBDes yakni pada tahap perencanaan diupayakan dengan penyediaan kotak saran untuk menampung aspirasi masyarakat terkait perencanaan pengelolaan dana desa. Selain penyediaan kotak saran, solusi lainnya untuk mengatasi keminderan masyarakat berpendapat, dengan menghimbau pada setiap kelompok organisasi yang ada, seperti: RT/RW, PKK dan Karang Taruna, menyelipkan pembahasan dan menampung aspirasi anggota kelompoknya mengenai pengelolaan dana desa dalam APBDes. Kemudian disampaikan oleh perwakilannya dalam musyawarah desa. Sehingga apabila pada tahap perencanaan aspirasi telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka pada tahap pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan akan kembali dinikmati oleh masyarakat desa.

1.2.4 Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa.

BUMDes lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama dalam BUMDes mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha yang akan dijalankan. Dalam proses ini setidaknya ada dua pertemuan besar yang melibatkan seluruh elemen penting warga desa secara perwakilan. Yang pertama adalah sosialisasi dan pembentukan tim yang bertugas mengawal seluruh proses pembentukan dan pertemuan kedua untuk melahirkan berbagai keputusan final. Walaupun proses tersebut telah dijalankan sesuai dengan prosedurnya, namun masih menyisakan permasalahan mendasar, misalnya kemampuan setiap desa untuk meningkatkan produk unggulan kawasan desa (Prukades) dimana fokus dalam satu bidang usaha BUMDes agar bisa maju dan berkembang. Seperti yang diungkapkan Kepala Desa Lulut :

Pendamping desa berkewenangan melakukan fasilitasi dalam bentuk program sosialisasi atau pendampingan kepada BUMDes. BUMDes di desa Lulut juga belum berkembang dan masih bersifat perdagangan umum, belum mampu mencapai one village one product (OVOP) (Udin, 2020).

 

Tetapi selain itu, faktor yang paling utama keberhasilan BUMDes sesungguhnya bukan sumber daya alam atau modal uang penyertaan melainkan Sumber Daya Manusia (SDM). Bagaimanapun semua potensi yang ada akan terbukti bisa menjadi komoditas yang produktif atau tidak, semuanya tergantung pada bagaimana SDM mengelolanya. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh pendamping desa Kang Ahman :

Dilemanya di kecamatan Klapanunggal khususnya dalam pengelolaan BUMDes, idealnya pengelolaan harus bersifat bisnis, dimana mengejar keuntungan untuk kesejahteraan desa yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat desa. Namun yang terjadi adalah para pengelola BUMDes khususnya pemudanya masih bermental pekerja/karyawan. Mereka tidak peduli dengan omzet BUMDes, yang penting setiap bulan terima gaji (Ahman, 2020).

1.2.5 Kritik terhadap Kebijakan

Dikaitkan dengan program pendampingan desa dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang terstruktur mulai di level pusat sampai dengan level terbawah sebagai pendamping lokal desa, masih ditemukan permasalahan kurangnya jalur koordinasi sesuai dengan bidang tugasnya seperti yang diungkapkan Kang Ahman selaku pendamping desa Pemberdayaan :

Kita ambil misalnya mengenai paralegal atau bisa disebut “pengacara desa” apabila desa terkena masalah yang mengharuskan ditempuh dengan jalur hukum, kami sudah merintis membentuk itu, namun sampai sekarang belum berjalan semestinya tidak ada upaya tindak lanjut dikarenakan di level tenaga ahli yang ada di propinsi dan kabupaten tidak ada yang secara spesifik membidangi urusan tersebut (Ahman, 2020).

 

Hambatan dalam pendampingan juga tidak lepas dari belum sinkron dan sinergisnya aturan yang lebih tinggi dengan aturan turunannya yang ada di daerah (Perda).

Kejadian yang ada di pemerintah desa adalah sifat menunda-nunda program dari pusat untuk menunggu aturan teknis berupa peraturan bupati turun dahulu baru mau melaksanakan. Ini menjadi kendala tersendiri bagi kami yang memiliki tanggung jawab untuk mensosialisasikan dan menerapkan program yang menjadi prioritas dari pusat yang khususnya menggunakan dana desa (Ahman, 2020).

 

Sehingga apabila dilihat dari fungsi otonomi dan fungsi kekhususan, Perda mengatur urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Karena pada hakekatnya otonomi adalah kebebasan dan kemandirian, bukan kemerdekaan. Maka seandainya ada Permendesa PDTT yang melanggar hak otonomi daerah maka Permendesa PDTT tersebut dapat disimpangi, kecuali Perda Kabupaten Bogor mengatur di luar batas-batas kewenangannya. Dan sepanjang tidak melanggar hak otonom daerah hal tersebut tetap memiliki relevansi atau kekuatan hukum.

1.2.6 Prioritas Program Desa

Penggunaan Dana Desa harus memberikan manfaat yang sebesar- besarnya untuk masyarakat Desa dengan memprioritaskan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa yang bersifat mendesak untuk dilaksanakan, serta lebih dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat Desa. Namun pada kenyataan di lapangan bahwa program pembangunan sangat diutamakan diatas program pemberdayaan, karena hasilnya dirasa lebih terlihat dan terasa langsung bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan Kang Ahman selaku pendamping desa bidang pemberdayaan Kecamatan Klapanunggal :

Fakta yang terjadi di masyarakat Klapanunggal adalah, pemerintah desa dan masyarakat sama-sama terlalu semangat untuk melaksanakan program pembangunan yang secara fisik bermanfaat secara langsung bagi masyarakat desa, misal jalan desa, jembatan, sarana irigasi dll. Namun mengesampingkan program pemberdayaan misalnya dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang nantinya akan mewujudkan desa yang mandiri dan berdaya (Ahman, 2020).

Program pembangunan dan pemberdayaan bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan dengan porsi alokasi yang berbeda-beda antara desa satu dengan desa yang lain. Namun pada kenyataan di lapangan bahwa program pembangunan sangat diutamakan diatas program pemberdayaan, karena hasilnya dirasa lebih terlihat dan terasa langsung bagi masyarakat dan penggunaan tidak dibagi rata. Fokus prioritas kegiatan dilakukan dengan cara mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pemberdayaan masyarakat Desa yang berdampak langsung terhadap pencapaian tujuan pembangunan Desa.

1.3 Upaya Pendamping Desa Dalam Rangka Meningkatkan Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh tenaga pendamping desa sebagai tanggung jawab dari adanya program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa (P3MD) yang berlokasi tugas di lingkup desa se Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dibagi menjadi 4 (empat) aspek antara lain yaitu :

Pertama, meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas pemerintah desa. Secara eksplisit tergambarkan betapa pendamping memiliki peran penting membantu mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan memfasilitasi rancangan perubahan sesuai kehendak dan kesepakatan seluruh komponen desa. Hal itu terutama penataan sistematis, baik lingkup desa maupun supradesa, agar lebih baik. Diantaranya menyangkut hal tata kelola pemerintahan desa, penguatan dan pemberdayaan partisipasi warga serta orientasi penyelenggaraan pembangunan desa yang berkualitas. Seorang pendamping desa adalah orang yang paham Hukum dan Administrasi, karena itu menjadi pondasi dasar dalam melakukan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa (P3MD). Sehingga mulai tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program desa, pendamping desa harus dilibatkan dan berkontribusi baik terhadap desa dampingannya.

Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Pentingnya partisipasi dari masyarakat dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat belum sepenuhnya diusahakan oleh pemerintah. Persepsi masyarakat sendiri masih kurang dalam pemahaman setiap tahapan pembangunan dan pemberdayaan di lingkungannya. Hampir semua program dan proyek pemerintah mensyaratkan partisipasi masyarakat yang mampu menjadi penentu keberhasilan program pembangunan dan pemberdayaan, akan tetapi pada kenyataan di lapangan, partisipasi dan pemberdayaan sering disalahgunakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kemampuan masyarakat di desa-desa se-kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dalam memahami perannya sebagai objek dan subjek pembangunan dan pemberdayaan masih belum sepenuhnya terakomodir secara optimal. Upaya pendamping dalam memfasilitasi, melibatkan dan mengikutsertakan masyarakat dalam setiap kegiatan sesuai dengan kondisi dan kemampuan baik berupa tenaga dan atau materi dalam keikutsertaannya sehingga bisa mengoptimalkan hasil kegiatan pembangunan dan pemberdayaan.

Ketiga, meningkatkan potensi dan daya guna desa untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya untuk mendampingi, pendamping desa juga menjadi fasilitator, mediator dan mitra bagi masyarakat dan pemerintahan desa dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi, menggali potensi sumber daya yang dimiliki dan menemukan prospek pembangunan di desa. Berdasarkan upaya dari pendamping desa diatas bahwa diharuskan mampu menggali potensi dan sumber daya desa dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang mandiri dan berdaya. Kemudian pendamping desa juga melakukan pemberdayaan untuk kaderisasi fasilitator desa khususnya kepada para generasi muda di desa dengan memberikan penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan pembentukan komunitas peduli desa. Sehingga generasi muda desa dapat membantu, meneruskan peran dan tugas pendamping desa serta membentuk community development yang berkesinambungan.

Keempat, meningkatkan sinergitas program dan kegiatan desa. Sinergitas adalah kegiatan gabungan atau kerjasama yang dilakukan guna untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dengan terhubung oleh beberapa peran dari subjek yang berbeda namun terkait di dalamnya. Oleh karena itu, seluruh komponen masyarakat, pemerintah desa dan pendamping desa diharapkan dapat bersinergi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan memberikan perubahan bagi tata kelola pemerintahan desa yaitu dalam upaya percepatan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), pemutakhiran data potensi desa, penyelesaian struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, serta penataan dan penetapan kewenangan desa. Dalam masa pandemi Covid 19 dimana hampir semua sektor perekonomian negara-negara di dunia mengalami dampak negatif yang cukup besar, tidak berbeda dengan di level terendah penyelenggaraan pemerintahan yakni di desa. Sebagai langkah strategis guna memulihkan perekonomian desa, pemerintah berupaya menyusun kebijakan yakni dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa kepada setiap individu yang memenuhi kriteria dalam penerimaan BLT Desa tersebut. Sinergitas pelaksanaan program nasional dengan pemerintah desa dalam menyukseskan program tersebut melibatkan seluruh komponen dalam pemerintahan desa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peran pendamping desa di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor sudah optimal dengan empat aspek pemberdayaan yang telah dilakukan. Pendamping desa mampu meningkatkan aspek akuntabilitas dan transparansi pemerintahan desa. Pengawasan dan partisipasi masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan dan pemberdayaan selama lima tahun terakhir, secara umum telah menunjukkan eksistensinya menuju perubahan sistem pemerintahan desa yang sehat dan mandiri.


 

BIBLIOGRAFI

Ahmad. (2020). Wawancara.

Ahman. (2020). Wawancara dengan Pendamping Desa Pemberdayaan.

Dinamika Proses Perumusan Kebijakan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan (Studi Kasus di Desa Pakkat Hauagong Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hsundutan). (2012). JKAP (Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik), 16(2). https://doi.org/10.22146/jkap.8042

Mulyanto. (2020). Wawancara Dengan Perwakilan Masyarakat Kec. Klapanunggal.

Nindya. (2020). Wawancara Dengan Perwakilan Masyarakat Kec. Klapanunggal.

Putri, L. S. (2016). Kewenangan Desa dan Penetapan Peraturan Desa. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(2). https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/115

Solekhan. (2014). Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Setara Press.

Suharto, S. (2020). Kapasitas Pendamping Desa Dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Jawa Tengah. https://www.publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/LPPM/article/view/3520

Sulistyani, A. T., & Wulandari, Y. (2017). Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa Sitimulyo Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Dalam Pembentukan Kelompok Pengelola Sampah Mandiri (KPSM). Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement), 2(2). https://doi.org/10.22146/jpkm.27024

Susanti, M. H. (2017). Peran Pendamping Desa Dalam Mendorong Prakarsa Dan Partisipasi Masyarakat Menuju Desa Mandiri Di Desa Gonoharjo Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Integralistik.

Susanti, R., & Basri. (2015). Efektivitas Pendamping Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Di Desa Sekodi Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkaslis. Jom FISIPom FISIP, 2(1).

Udin. (2020). Wawancara dengan Kepala Desa Lulut.

 

Copyright (c) 2021 Agustiar Rivaldi

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.